Sudah menjadi hal yang umum seluruh umat Islam menunggu keputusan kapan datang hari pertama Ramadhan dan Syawal (Idul Fitri).
Keputusan itu didapatkan dari hasil mengamati hilal atau bulan sabit (rukyatul hilal). Tentu karena di kalender Hijriyah setiap pergantian bulan benar-benar harus lewat satu fase penuh bulan.
Dan sudah menjadi kebiasaan pula, di Indonesia khususnya, ada agenda khusus untuk melakukan pengamatan bulan sabit tersebut yang kita sebut “Sidang Isbat”.
Mengamati bulan, terutama saat penentuan awal Ramadhan dan akhirnya, ternyata memiliki dasar yang cukup kuat. Sebuah hadits mengatakan,
“Berpuasalah kalian pada saat kalian telah melihatnya (bulan), dan berbukalah kalian juga di saat telah melihatnya (hilal bulan Syawal). Dan apabila tertutup mendung bagi kalian maka genapkanlah bulan Syaban menjadi 30 hari.”
(HR. Bukhari: 1776 dan Imam Muslim 5/354)
Sekarang yang menarik di sini adalah, setelah teknologi berubah menjadi lebih canggih dan fase bulan dapat kita lihat dengan mudah lewat website atau aplikasi, apakah rukyatul hilal masih relevan kita lakukan?
Apalagi saat kita melihat beberapa organisasi Islam di Indonesia ternyata memiliki pendapat yang berbeda-beda. Ada yang memutuskan lebih dahulu, ada yang mengikuti Arab Saudi, ada yang manut dengan keputusan pemerintah.
Apakah kegiatan mengamati hilal ini tidak memiliki standar? Atau kemungkinan terburuknya adalah, apakah perbedaan keputusan pengamatan hilal itu murni perbedaan atau sebab ego dari masing-masing anggota organisasi Islam?
Saya paham bahwa saya bukan orang yang tepat dalam membahas ini. Tetapi opini saya mungkin dapat menjadi santapan pikiran bagi mereka yang tertarik untuk berpikir lebih jauh.
Pada dasarnya, kementrian agama telah menetapkan standar bahwa minimum hilal yang dapat menjadi patokan awal bulan hijriah adalah 3 derajat.
Penetapan standar tiga derajat itu pun bukan sembarang angka yang muncul begitu saja. Banyak sekali pertimbangan-pertimbangan yang mengikutsertakan studi khusus di mana kita muslim yang awam mungkin tidak akan sampai pemahamannya.
Jadi, yang kita dapat lakukan hanyalah menuruti orang ahli di bidangnya saat mereka telah menetapkan standar, sekali pun menurut kita standar mereka kurang tepat.
Bukankah mentaati ulil amri merupakan bagian dari syariat?
Dari sini, jika kita mengikuti pemerintah, maka standar hilal yang terlihat adalah tiga derajat.
Sedari SMA, yang mana ponsel saya masih Nokia Symbian, saya selalu memiliki aplikasi astronomi. Di dalamnya ada persentase fase bulan dan informasi-informasi bermanfaat lainnya.
Sejak saya mengenal aplikasi-aplikasi astronomi itu, sejauh ini prediksi awal Ramadhan yang saya lihat selalu mengikuti keputusan sidang isbat pemerintah. Ini sudah berlangsung lebih dari sepuluh tahun.
Kemudian hari ini, 10 Maret 2024, yang perbedaan penentuan awal Ramadhan kembali terjadi antar organisasi Islam, saya tentu tidak memusingkan itu.
Di aplikasi, atau alternatifnya kalian dapat lihat di website Time and Date, saya melihat fase bulan justru masih 0.1%, masih jauh di bawah 3 derajat sesuai dengan ketetapan pemerintah.
Maka dari itu, secara otomatis saya mengetahui bahwa salat tarawih tidak dilakukan malam ini. Dan sekali lagi, ternyata sejalan dengan keputusan pemerintah.
Bumi ini besar dan bulat, yang mengakibatkan adanya zona-zona waktu. Bisa jadi saat maghrib di Indonesia dengan di Arab Saudi, persentase fase bulan di kedua negara akan berbeda.
Walaupun, perbedaan persentase fase bulannya sangat tidak jauh. Mungkin hanya sekitar nol koma sekian persen saja. Itulah yang menyebabkan perlu adanya standarisasi.
Kendati demikian, masih ada beberapa dari kita yang melakukan pemantauan secara tradisional meski sudah menggunakan teropong atau teleskop.
Cara tradisional ini memiliki sebuah kekurangan fatal, yakni ada kesempatan besar sehingga mengakibatkan bulan tidak akan terlihat seperti tertutupi asap atau awan mendung.
Meski Rasulullah saw. menyediakan fallback atau rencana cadangan saat terjadi mendung dan rukyatul hilal mustahil mendapatkan hasil, namun tetap saja ada perbedaan geografis antara tempat Beliau saw. tinggal dengan muslim di Indonesia.
Salah satunya adalah perbedaan iklim. Kita mengetahui bahwa di Arab sana, iklimnya sebagian besar adalah iklim gurun yang tandus. Karena itulah, hujan sangat jarang terjadi di sana.
Sedangkan di Indonesia, hampir setiap saat awan akan terlalu terbentuk di mana pun. Apalagi saat musim hujan. Kemungkinan untuk menarik hasil dari rukyatul hilal akan lebih sering terlewatkan.
Yah, walaupun memang, pengamatan bulan sabit tidak hanya dilakukan di satu titik.
Jadi sebagian umat Islam di Indonesia, yang masih menggunakan cara yang masih manual atau tradisional untuk mengamati hilal, masih memiliki kendala yang tinggi dan selalu sama dari tahun ke tahun.
Dari sini saya sudah mempertanyakan, apakah mengamati hilal ini masih menjadi syariat atau sudah menjadi tradisi hanya karena dahulu orang-orang sering melakukannya di zaman yang masih minim teknologi.
Sekali pun ada hadits yang menyebutkan bahwa perbedaan adalah rahmat (ada pendapat bahwa haditsnya begitu lemah hingga palsu), namun bukankah jika perbedaan dapat kita minimalisir akan menjadi sesuatu yang lebih menyenangkan?
Sebagai manusia yang memiliki ego, secara ‘default’ tidak ada yang senang pendapatnya mendapatkan selisih dari orang lain, sekali pun dari teman terdekatnya sendiri.
Maka dari itu, ada syariat yang lainnya lagi untuk meminimalisir perbedaan pendapat ini, yakni dengan musyawarah supaya terbentuk jalan tengah mendamaikan kedua belah pihak.
Mengenai perbedaan pendapat awal Ramadhan dan akhirnya, sebenarnya ada beberapa dampak yang terjadi walaupun memang tidak besar.
Seperti, mereka yang lebaran terlebih dahulu akan kesulitan menyesuaikan jadwal dengan yang lebaran di hari esoknya. Apalagi jika perbedaan itu terjadi di dalam area keluarga.
Dalam kacamata agama, perbedaan tersebut sah. Tetapi bukan berarti kasusnya selesai sampai sana.
Ibaratnya, sama seperti seseorang yang shalat di tengah jalan umum, secara fiqih shalatnya sah, namun bagaimana dengan dampaknya kepada pengguna jalan lain?
Ibadah secara horizontal (hablun min annas/alam) juga memiliki kaidah khusus. Meminimalisir konflik selagi mampu, itu merupakan bentuk ibadah dan insyaAllah memiliki pahalanya tersendiri.
Apalagi jika perbedaannya ternyata lebih condong ke arah tradisi, bukan syariat. Perbedaan yang berpotensi mengundang perselisihan bukanlah rahmat karena memicu perpecahan.
Akhir kalimat, pendapat siapa yang seharusnya kita ikuti dalam menentukan awal Ramadhan? Pendapat pemerintah atau organisasi yang memilih menggunakan cara tradisional dalam rukyatul hilal?
Begini, sebelum saya jawab, kepedulian saya justru bukan terjadi kepada siapa yang kita ikuti, namun lebih kepada dampak sosialnya.
Pendapat apa pun boleh kita ikuti selama memiliki dasar kuat DAN memiliki dampak negatif yang minim.
Sekarang yang menjadi perhatian adalah, semakin hari sudah semakin sedikit dari kita yang peduli kepada sekitar. Masih banyak yang mengaku beragama tetapi masing-masing memiliki ego yang tinggi.
Seakan hadits yang menyebutkan bahwa umat Islam seperti bangunan hampir-hampir tidak lagi kita amalkan, kecuali jika suatu saat bangunannya sudah runtuh.
Berorganisasi tidaklah mendapatkan larangan selagi hasil keluarannya baik. Tetapi siapa yang dapat menjamin masing-masing organisasi tidak akan merasa pendapatnya lebih benar daripada organisasi lain?
Siapa yang menjamin sebuah organisasi tidak berusaha untuk mendominasi satu sama lain?
Bahkan untuk hal kecil saja, mengenai perselisihan atas perbedaan rakaat tarawih 8 atau 20, itu masih saja terjadi hari ini. Pernah saya bahas di artikel saya yang lain.
Terkadang saya pun masih bertanya-tanya. Umat Islam Indonesia kompak satu negara menganut mazhab Syafi’iyah, setidaknya sebagian besar. Apakah dapat diterapkan juga pada kasus lainnya?
Bukankah keindahan juga terjadi dalam kekompakan? Kecuali, ketika masing-masing sudah dewasa dalam memahami perbedaan pendapat.