Sebagian orang sangat tidak menyukai kebisingan. Saya juga. Saya pribadi tidak begitu menyukai orang-orang yang nyaring lagi berisik.
Apalagi di Indonesia ini, begitu banyak orang yang menurut mereka jika tidak berisik maka tidak ada kehidupan. Tentu hal tersebut membuat orang-orang yang senang kedamaian merasa tidak nyaman bahkan terancam.
Acara hajatan, rekan kerja yang berbicara dengan volume tinggi, speaker masjid yang meraung di luar jam yang seharusnya, anak-anak yang teriak-teriak atau menangis berkepanjangan, para remaja yang menyetel musik keras-keras, dan lain sebagainya.
Kebisingan yang terus-menerus bahkan bisa mengganggu stabilitas emosi, merusak suasana hati, hingga menyebabkan depresi.
Di tulisan kali ini, saya sebenarnya akan mencoba membahas dari berbagai sisi mengenai orang-orang yang nyaring lagi berisik.
Saya begitu mengenal sebagian orang yang memang βberisik dari lahirβ. Beberapa dari mereka bahkan ada yang berasal dari jalur kerabat.
Tidak melulu harus ekstrovert, sebagian introvert ada yang memang nyaring secara alami. Jadi standar suara mereka memang sudah besar.
Di luar itu, ada sebagian orang yang terlalu enerjik. Mereka secara ‘tidak sadar’ selalu membanting pintu, melangkah dengan suara langkah yang tinggi, dan melakukan aktivitas dengan mengeluarkan suara nyaring.
Saya sendiri pun yang mana suara saya seringkali tidak terdengar saat berbicara, pernah beberapa kali mendapat teguran jika suara saya ternyata berisik menurut sang penegur.
Hanya saja, di sinilah perbedaan yang harus kita cermati.
Saya tidak pernah memiliki masalah dengan orang-orang yang berisik secara natural. Entah mereka bersuara besar, atau beraktivitas dengan mengeluarkan suara tinggi.
Bahkan saya sendiri tidak jarang memberi isyarat kepada rekan-rekan saya yang memang sedang nyaring untuk merendahkan volume mereka.
Saya tidak pernah menuntut rekan-rekan saya agar selalu pelan, tetapi kami memang saling menegur di saat yang seharusnya.
Sebagian waktu dan tempat memang dirancang untuk berisik. Tentu saja contohnya seperti konser atau waktu-waktu acara besar yang memerlukan pengeras suara.
Biasanya, orang-orang yang senang kesunyian akan menjauhi tempat-tempat seperti itu. Atau bahkan orang-orang yang senang kesunyian memang memiliki jadwal khusus untuk berisik.
Misalnya saat mereka berkaraoke, merayakan sesuatu di tempat umum, hingga naik roler koster.
Atau bagi muslim seperti saya, memang sudah terbiasa untuk mendengarkan suara adzan, tahrim, dan pengajian di waktu-waktu khusus. Apalagi seringnya tempat tinggal saya benar-benar langsung bertetangga dengan masjid.
Segala sesuatu akan selalu baik saat berada pada tempatnya. Termasuk hal yang bising lagi berisik.
Bahkan sangat tidak elok jika waktu dan tempat yang memang ditujukan untuk berisik tersebut kemudian kita suruh diam. Sebab manusia terkadang perlu berekspresi sekalipun dengan nyaring dan berisik.
Nah, sekarang kita kembali kepada individu yang memang gemar berisik dan mengeluarkan suara-suara mengganggu. Bukan hanya sesekali, melainkan sepanjang waktu.
Sudah sangat banyak kasus, bahkan saya sendiri merasa sangat terganggu dengan berisiknya orang-orang seperti itu.
Pertanyaannya adalah, mengapa sebagian orang senang berisik?
Kebanyakan orang sengaja bersuara keras ingin menunjukkan kepada sosialnya bahwa mereka mampu, atau bisa kita sebut sebagai aksi mencari perhatian.
Sebagian orang ingin mendapatkan perhatian dengan mengeraskan apa pun yang mereka sedang nikmati pada saat itu. Mereka berharap lingkungan sekitarnya menyadari eksistensi mereka.
Misalnya, saat seseorang melihat video yang menurutnya layak untuk ia sebarkan, maka dia akan memperbesar volumenya dan memberitahu orang lain dengan caranya tersebut.
Atau contoh lain, saat sebuah komunitas berada di tempat umum, misalnya berada di restoran atau kafe dengan meja dan kursi yang disatukan, kebanyakan dari mereka biasanya akan nyaring dan berisik.
Suatu komunitas akan senantiasa mengeluarkan suara tawa yang begitu keras, obrolan yang setengah berteriak, knalpot bising, dan hal-hal berisik lainnya mereka lakukan seakan mereka ingin menunjukkan kepada publik bahwa komunitas mereka adalah solid dan menyenangkan.
Maka dari itu tidak perlu heran jika ada acara bahkan hingga masjid yang berlomba-lomba mengeraskan suara. Mereka melakukan hal seperti itu biasanya hanya untuk menunjukkan bahwa mereka mampu mendominasi komunitas.
Orang-orang berisik berpikir dengan perbuatan berisiknya akan membuat lingkungan mereka menjadi lebih hidup.
Seperti yang telah saya sebutkan di atas, yang menjadi permasalahan bagi saya, sebenarnya bukan hal berisiknya.
Saya menghargai orang-orang yang berisik selagi mereka masih peka dengan sekitar dan penuh pertimbangan.
Penyakitnya justru berasal dari keegoisan yang tinggi dan ketidakpedulian dengan sekitar.
Orang-orang berisik tidak pada tempatnya biasanya memiliki kecerdasan sosial yang rendah. Akibatnya, kehadiran mereka justru seringkali tidak kita harapkan.
Saya akui dahulu sewaktu SMA, saya selalu mengeraskan volume jika saya menemukan musik yang menurut saya bagus. Harapannya adalah agar yang mendengar musiknya akan tertarik dan saya akan mendapatkan tanggapan positif mengenai selera musik saya.
Namun saat saya ingat kembali masa-masa itu, itu adalah hal yang konyol dan tidak pantas. Nyatanya hampir tidak ada orang yang tertarik dengan musik yang saya dengarkan pada saat itu.
Di luar itu, saya bahkan ingin meminta maaf kepada siapa pun yang terganggu dengan perbuatan berisik saya di masa lalu.
Ketika saya berkumpul dengan orang-orang sekali pun, saya akan tetap memperhatikan sekeliling. Jika saya menangkap ada orang yang terganggu dengan volume kami, saya akan memberitahukan komunitas agar lebih memelankan suara mereka.
Saya sendiri pun pernah beberapa kali mendapatkan teguran karena volume saya yang tidak sengaja menjadi terlalu tinggi. Entah karena ekspresif atau karena terlalu bersemangat.
Semenjak tahun-tahun kemarin, saya terus berlatih agar mengatur volume suara saya, terutama saat saya tertawa.
Bukan sekali dua kali saya melihat pertengkaran terjadi hanya karena suara yang tidak terkontrol dari orang-orang yang tidak peka.
Nyatanya, tidak sedikit orang yang menyengaja meninggikan suara padahal mereka tahu ada orang-orang yang sedang beristirahat atau setidaknya ingin meraih ketenangan di sekitar mereka.
Apalagi saat mendapatkan teguran untuk memelankan suara, sebagian orang yang berisik tersebut tidak terima dan memicu pertikaian hebat.
Kejadian demi kejadian seperti ini terus terulang dan terulang.
Orang-orang berisik dengan percaya dirinya mempertahankan argumen mereka karena mereka yakin akan mendapatkan pembelaan dari lingkungan mereka, dan itu benar.
Sehingga tidak jarang orang yang terganggu justru bukan hanya tidak mendapatkan dukungan, ia juga mendapatkan teror dari orang yang ia tegur. Tentu hal ini membuat depresi sebagian orang.
Di negara maju yang mana mereka menjujung tinggi ketenangan, para penduduknya bahkan sudah tidak lagi menegur secara langsung tetangga mereka yang berisik.
Melainkan, mereka meminta bantuan polisi yang sudah mereka percaya untuk menegur para tetangga yang berisik. Hal itu jauh lebih aman dan sangat minim risiko.
Bukan berarti di negara maju tidak ada orang yang berisik, mereka hanya pandai menempatkan waktu dan tempat untuk kegiatan berisik mereka.
Silakan jika ingin berisik. Hanya saja perlu kita pertimbangkan waktu dan tempatnya.
Saya sendiri tidak pernah mengeluh dengan orang-orang berisik saat berada di tempat terbuka. Saya hanya pindah ke tempat yang lebih nyaman.
Kita perlu menjauhi orang-orang berisik yang tidak pada tempatnya karena mereka sarat ketidakpedulian. Apalagi orang-orang yang terlalu sering tertawa dengan volume tinggi membuat hati mereka berpotensi menjadi begitu keras.
Salah satu ciri hati yang sudah keras adalah menggampangkan masalah orang lain, dan menganggap masalah pribadinya adalah yang perlu mendapatkan perhatian. Jadi bukan hanya enggan menerima nasihat semata.
Sedangkan ketenangan adalah ciri dari orang yang bijak, sebab biasanya orang yang tenang begitu produktif serta selalu memperhatikan keadaan di sekitarnya.
Orang-orang yang memiliki kepedulian hari ini sudah begitu jarang. Padahal orang-orang yang peduli identik dengan orang-orang yang kerap berimprovisasi atau melakukan perbaikan-perbaikan yang bermanfaat.
Sedangkan kebanyakan orang baru mulai peduli hanya saat musibah telah terjadi.
Tulisan yang mewakilkan pemikiran saya selama ini, semoga lebih banyak yang peduli dengan masalah ini
Halo Thafa, terima kasih atas komentar dan dukungannya.
Benar, semoga ke depannya banyak yang lebih peduli dengan masalah yang terlihat sepele ini.
Jika ada sesuatu yang ingin dibagikan, atau sesuatu agar dapat saya bahas, boleh request di sini. π€