Kenapa manusia diuji oleh Allah Ta’ala? Padahal Dialah yang Maha Tahu bagaimana keadaan hambaNya. Dia jualah yang lebih tahu apakah hambaNya ahli surga atau ahli neraka.
Ujian manusia dapat bermacam-macam, entah dari kekurangan harta, kehilangan jiwa, kelaparan, hingga depresi karena perbuatan buruk orang-orang. Mengapa orang beriman Allah Ta’ala uji? Padahal sudah rajin shalat, sedekah, mengaji, dst.
Ada lima sebab mengapa Allah Ta’ala menguji orang beriman. Alasan pertama:
Di dunia ini berlaku sunatullah, atau sunnah (aturan main)nya Allah di dunia ini. Singkatnya, di mana ada sebab, di sana ada akibat.
Bumi berputar selama 24 jam, mendapatkan siang dan malam karena sebab rotasi bumi tersebut.
Begitu pun dengan manusia yang tidak luput dari sunatullah itu sendiri. Seperti, meski Allah Ta’ala sudah menetapkan rezeki dari para hambaNya, namun tetap Allah menyuruh para manusia agar bertebaran di bumiNya untuk mencari rezeki dariNya.
Saya memahami sebagian dari kita merasa takut mendapatkan ujian dari Allah Ta’ala karena biasanya ujian hidup berkaitan dengan sesuatu yang tidak menyenangkan dan tidak sebentar.
Tetapi Allah Ta’ala memiliki sifat Al-Lathiif atau Maha Halus, yang insyaAllah dapat berarti ujian yang Dia berikan kepada manusia itu benar-benar lewat jalan yang benar-benar halus dan tak terasa.
Misalnya, berdasarkan sunnatullahNya, tidak mungkin Allah Ta’ala menguji kita dengan rumah kita yang tiba-tiba terbakar tanpa sebab. Atau menguji kita dengan mendapatkan PHK perusahaan langsung begitu saja.
Segala sesuatu memiliki sebab dan akibat, karena itulah bagian dari sunnatullah di dunia, meski itu adalah rezeki yang tidak dapat kita tolak sekali pun.
Tidak pernah ada istilahnya entah ujian atau nikmat tiba-tiba turun dari langit atau muncul dari balik sajadah. Walau pun ada, apakah itu yakin langsung dari Allah? Atau justru dari jin/setan? Dan meski pun dari Allah, apakah kita termasuk orang yang layak mendapatkan mukjizat itu?
Tidak malukah diri kita dengan para Nabi dan Rasul yang namun mereka tidak pernah meminta suatu rezeki langsung dari langit hanya untuk diri dan ego mereka saja? Padahal mereka lebih layak dengan itu.
Sebagai salah seorang manajer di perusahaan yang saya bangun bersama tim, pastinya kami memerlukan karyawan. Maka kami buka lowongan kerja sesuai dengan kriteria yang telah kami tetapkan.
Pada saat itu kami memerlukan programmer web, PHP dan JS (Javascript).
Saya punya cerita menarik, saya melihat sebagian besar pelamar mengaku dapat membuat program dengan kedua bahasa pemrograman tersebut lewat secarik lampiran digital yang mereka kirimkan via email.
Apakah saya langsung percaya? Tentu tidak, karena risikonya sangat besar bagi perusahaan. Bagaimana jika calon pegawai yang saya terima ternyata kemampuannya sangat jauh dari harapan dan cenderung menyusahkan perusahaan? Saya tidak ingin menghadapi karyawan seperti itu.
Apa yang kemudian saya lakukan? Saya memberikan mereka ujian sesuai dengan kebutuhan perusahaan, dengan saya sendiri yang langsung memantau.
Secara mengejutkan, dari hampir seratus pelamar, hanya dua orang tersisa. Mereka menyadari bahwa apa yang selama ini mereka pahami di atas kertas ternyata jauh berbeda dengan keadaan di lapangan.
Mereka baru memahami bahwa seperti itulah tuntutan pelanggan yang ingin aplikasinya lancar dan tidak berbelit-belit. Sedikit error yang kurang berkenan dari aplikasi akan membuahkan komplain yang sangat dahsyat dari para pengguna.
Itulah mengapa saya tidak langsung percaya saat ada orang yang berkata, “Saya adalah programmer”, padahal pengetahuan kodingnya mungkin hanya sebatas apa yang ia pelajari di kampusnya saja.
Sesuai dengan firman Allah Ta’ala,
Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, βKami telah berimanβ, sedang mereka tidak diuji?
(QS. al-Ankabut: 2)
Dengan adanya ujian, barulah kita mengetahui mana hambaNya yang ternyata bersabar dan memperbaiki kualitas ibadahnya, dan mana hambaNya yang cenderung komplain dengan takdir dan bahkan melakukan hal yang tidak-tidak untuk menolak takdirNya.
Sebagai hasilnya, seorang hamba bisa mendapatkan cinta dari Allah atau bahkan murkaNya setelah ujian berakhir, yang mana insyaAllah pasti berakhir ujian tersebut.
Hikmahnya, kita pun dapat mengambil pelajaran dari ujian tersebut, seperti menakar seberapa berat ujian yang mungkin sedang atau akan kita jalani.
Saya memahami sedih dan pilunya mungkin sangat dahsyat dan tidak sebentar, karena saya sendiri pernah mengalami. Namun cobalah dengan ujian ini kita buktikan bahwa kita dapat menjadi hambaNya yang Dia cintai jika ujian telah berakhir suatu saat nanti.