Seseorang baru saja mendapat PHK. Kemudian dia curhat panjang lebar mengenai bagaimana nanti pemenuhan kebutuhan hidupnya selama menjadi pengangguran.
Dia juga mengakui jika mencari kerja hari ini sudah semakin sulit apalagi usia juga menjadi sebuah penghalang yang nyata.
Hanya saja… sesi curhatnya itu ia tutup dengan, “Ya gimana lagi, mungkin udah jalannya (hidup saya menderita seperti ini) ya.”
Saya mendengar itu hanya diam. Sampai akhirnya ia ingin mendengar sepatah dua patah kata dari saya, saya hanya jawab,
“Iya, sudah jalanmu. Ya sudah.”
Mendengar jawaban saya, dia seolah tidak puas, seolah menginginkan sebuah solusi atau setidaknya secercah titik cahaya yang bisa menenangkannya.
Saya tambah bingung. Dia bilang itu sudah menjadi jalan hidupnya, tapi di satu sisi dia ingin keluar dari jalan hidup yang dia baru saja akui itu. Jadinya ia ingin yang bagaimana?
Maksudnya, kalau dia sudah menyimpulkan bahwa kejadian pahit itu sudah menjadi jalan hidupnya harusnya ia tinggal menikmati takdir yang telah ditetapkan untuk dia saja. Mengapa masih meminta solusi seolah dia tidak rela dengan jalan takdirnya sendiri?
Sebenarnya fenomena justifikasi, atau pembenaran, atau pengambilan keputusan sepihak ini adalah sesuatu yang tidak sederhana, jadi saya coba akan mendiskusikannya pada artikel berikut.
Saya sangat menyadari bahwa banyak orang yang curhat, kemudian menutup curhatnya yang panjang lebar dan sarat keluh kesah itu dengan ungkapan seolah dia menerima kenyataan pahit, bisa jadi karena sebuah alasan.
Ada kemungkinan, orang itu hidup dan besar di tengah masyarakat yang selalu menekan perasaannya. Ia tidak biasa mengutarakan ketidaknyamanannya karena khawatir akan mendapatkan cap “tidak bersyukur” atau “kurang ibadah” dari orang-orang di sekitarnya.
Jadi sudah tertanam untuk menghindari penilaian orang lain, ia membela diri dengan berlindung di balik justifikasi yang ia buat-buat.
Padahal identifikasi masalah itu penting sebelum terbit sebuah solusi.
Dan padahal, identifikasi masalah itu adalah sebuah hal yang mudah jika seseorang bisa jujur kepada dirinya sendiri.
Nyatanya, banyak orang yang alih-alih jujur kepada dirinya sendiri, ia justru menuduh sistem yang sudah berjalan dengan baik sebagai penyebab masalahnya, lalu ia tiba-tiba menerima itu agar terlihat tegar.
Seperti, di Jakarta, telinga saya tidak asing mendengar ungkapan “Jakarta itu Keras”. Saya tidak paham, di Jakarta semua fasilitas tersedia dan lengkap. Transportasi umum di Jakarta berupa-rupa macamnya dan murah meriah. Tempat tongkrongan dan pusat perbelanjaan pun berlimpah.
Jika Jakarta itu keras, lalu mereka yang tinggal di pelosok yang minim fasilitas umum bahkan kurangnya akses jalan dan penerangan yang layak hingga wanita yang ingin melahirkan harus ditandu berkilo-kilo meter itu ingin disebut apa?
Jadi, Jakarta itu keras dari mananya? Kenapa banyak sekali orang yang menuduh Jakarta sebagai tempat yang keras dan tidak bersahabat di tengah banyaknya kemudahan akses dan fasilitas umum tersebut?
Masih banyak orang-orang yang tidak ingin mengidentifikasi masalah ini dan tidak mengakui bahwa penyebab Jakarta kurang bersahabat adalah perilaku sebagian masyarakatnya yang meresahkan.
Yang lebih aneh lagi, saat pemerintah ingin menindak perilaku masyarakat yang menjadi penyebab kerasnya Jakarta, justru kita membela masyarakat biang onar tersebut dengan alasan “kasihan”.
Perilaku meresahkan golongan masyarakat tersebut ternyata kita pelihara yang kemudian kita salahkan “Jakarta” sebagai tempat yang keras dan tidak bersahabat. Sangat kontras dengan kota-kota lain semisal Singapura atau Tokyo, atau bahkan Kuala Lumpur yang tidak pernah kita dengar istilah aneh-aneh tersebut dan meromantisasinya.
Itu baru salah satu contoh saja.
Saat saya mengobrol dengan seorang psikolog, tak terasa sang psikolog itu pun juga ikut ‘curhat’ kepada saya tentang kelakuan pasien-pasiennya yang melakukan justifikasi setelah mereka mengutarakan isi hatinya panjang lebar.
Psikolog itu adalah dokter perasaan yang hanya bisa memberikan resep atau saran, kemudian yang berusaha untuk sembuh tetaplah si pasiennya itu sendiri.
Bahkan seorang dokter akan kesal apabila saat ia memberitahu pasien akan sebuah pantangan namun tidak diindahkan oleh pasien tersebut.
Ibarat dokter yang menyarankan pasien diabetes untuk mengurangi gula, tetapi si pasien tetap mengonsumsi gula dan berdalih bahwa sudah takdirnya ia harus berdampingan dengan diabetes.
Akibatnya, berapa pun obat yang dikonsumsi pasien diabetes tersebut, kadar gulanya tidak akan cenderung membaik karena nasihat dokter tidak ia dengar.
Atau ibarat lain, ada orang yang memiliki luka di tangannya. Tetapi alih-alih ia menutup lukanya dengan perban, ia justru kerap meminum obat penenang supaya tidak merasakan sakitnya luka tersebut. Sampai akhirnya lukanya semakin parah dan menyebabkan infeksi.
Pun sama halnya dengan penyakit mental. Banyak yang mencoba mengabaikan luka di hati dengan mengalihkannya kepada sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan penyembuhan.
Seperti, pengalihan kepada sifat pasrah atau mencoba mensyukuri sesuatu yang lain untuk mengabaikan luka di hatinya tersebut.
Apabila luka di hati seseorang sudah terlanjur mendalam karena sumber lukanya tidak pernah ia gubris, suatu saat perasaannya bisa menjadi keras yang mengakibatkan hilangnya rasa empati dari dalam dirinya.
Jangan heran apabila hari ini banyak orang yang senang menggampangkan atau memandang remeh masalah orang lain, menganggap orang lain tidak setegar dan sesabar dirinya, hingga menceramahi dengan bumbu agama yang tidak perlu.
Apabila jujur kepada diri sendiri saja sudah sulit, bagaimana ia akan bisa dipercaya orang lain?
Saya mengerti saat seseorang berbohong kepada orang lain, itu mungkin untuk melindungi citra dirinya atau mencari aman. Tetapi kalau sampai berbohong kepada dirinya sendiri yang paling mengerti keadaannya?
Bagaimana masyarakat kita akan melahirkan pemimpin yang jujur dan amanah sedangkan banyak dari mereka yang terbiasa berbohong kepada diri mereka sendiri?
Tidak ada salahnya jika kita mengakui masalah yang menjadi sebab sedihnya hati kita karena kita ingin keluar dari masalah itu.
Seperti, saya apresiasi saat ada orang yang dengan jujurnya mengakui bahwa ia membenci orang-orang yang bekerja karena dirinya sulit mendapatkan pekerjaan.
Kemudian ada lagi yang membenci pencapaian seseorang karena faktor masa lalu orang tersebut yang membuatnya sakit hati.
Benar-benar tidak mengapa saat kita mengakui bahwa kita belum bisa memaafkan orang lain karena kadar permasalahan setiap orang berbeda-beda. Jangan kemudian kita tutupi penyebab masalah kita dan berpura-pura tegar. Percayalah itu hanya akan membuat kita semakin dilema.
Di sinilah pentingnya kita mencari orang yang memiliki ilmu yang cukup dalam memahami perasaan manusia supaya masing-masing bisa saling menasihati yang tepat sasaran.
Di Quora, ada sebuah pertanyaan, “Bisakah depresi saya hilang dengan berolahraga?”
Kemudian ada jawaban yang bagi saya sangat bagus sampai dapat mencerahkan diri saya.
Olahraga, bertamasya, dan mengerjakan hal yang menyenangkan bisa mengurangi depresi, tetapi tidak dapat menghilangkannya.
Untuk benar-benar menghilangkan sebuah depresi, kita harus mencari penyebabnya dan berusaha mengenyahkannya.
Depresi karena tempat kerja yang buruk? Pindah ruangan atau lapor HRD/manajer, atau bahkan mengasah kemampuan agar dapat mencari tempat kerja lain.
Depresi karena tempat tinggal yang tidak aman? Menabunglah supaya bisa membeli tempat tinggal yang lebih baik lagi.
Selagi penyebab depresi masih ada, maka depresi itu akan tetap bersemayam pada diri kita yang bisa membuat keadaan kita lebih buruk, tidak peduli seberapa banyak kita melakukan kegiatan untuk mengabaikannya.
Sekali pun kita masih belum mampu menyingkirkan sesuatu yang menyebabkan kita depresi, setidaknya mencari dan mengakui penyebabnya itu sudah termasuk langkah awal dalam mengatasi rasa depresi tersebut.
Tugas kita adalah memutus rantai beracun yang pernah menempel kepada diri kita semisal ada. Kita tidak ingin mewariskan kebiasaan yang sebenarnya berbahaya tersebut kepada anak dan cucu kita nanti.
Sekali pun ini bukan tentang diri kita sendiri, kita setidaknya ingin lingkungan yang membuat kita merasa nyaman dan kita harus berupaya untuk mencapai itu.
Saya pernah menemukan sebuah postingan di media sosial yang mengakui kalau ada yang tidak beres dengan lingkungan tempat dia tinggal, ia kemudian dengan berat hati menjual rumahnya dan pindah ke perumahan klaster yang lebih mahal.
Ternyata, tetangga-tetangga di rumah barunya tidak pernah menyebabkan keributan dan justru jauh lebih tenang. Mereka mendukung satu sama lain dan bertukar informasi yang membantu. Luka hati akibat perbuatan tetangga-tetangga lamanya akhirnya hilang seketika.
Dengan luka hati yang sudah sembuh, seseorang bisa kembali beraktivitias dengan maksimal dan kembali menebar manfaat kepada orang-orang di sekitarnya.
Berbeda saat hati masih memiliki luka yang cukup menyakitkan. Suasana hati menjadi lumpuh, pekerjaan banyak yang tertunda dan tidak bisa sungguh-sungguh diselesaikan dengan baik, hasilnya pun pada akhirnya terlihat setengah hati.
Dari sini kita bisa mengetahui betapa mahalnya aset suasana hati dan betapa mahalnya pula memiliki seseorang yang punya kemampuan memahami perasaan manusia.
Ketika kita berhasil menemukan orang yang ahli dalam memahami perasaan dan curhat kepadanya, sebaiknya jangan kita akhiri dengan justifikasi yang tidak perlu, bahkan selagi memungkinkan, segala isi hati yang membuat kita sesak lebih baik kita keluarkan saja semuanya.
Ingat, kita ingin kehidupan yang lebih baik lagi, sedangkan menemukan orang yang tepat untuk mewujudkan impian kita itu sangatlah jarang. Jangan sia-siakan mereka apabila kita berhasil menemukannya.
Terakhir, sediakanlah sebagian waktu kita untuk menyendiri dan berbicara kepada diri kita sendiri. Semoga dengan waktu menyendiri itu, kita bisa terlatih jujur dan mengakui ketidaknyamanan apa pun yang sedang kita alami.