Rencana B

Malam itu mati lampu, di tengah kota Jakarta, tepat di daerah elit Menteng, yang kebetulan ada saya di dalamnya.

Ternyata itu hanya di indekos saya saja, sebuah indekos menengah ke atas yang mati listrik akibat kabelnya digigit tikus. Terkadang alam memiliki kejadian yang di luar nalar, tidak pernah bisa kita prediksi sebelumnya.

Saya yang berada sendirian di kamar, terkubur dalam gelap gulita, hanya bermandikan cahaya mungil dari layar ponsel yang sedang saya pegang.

Sebuah lampu portabel saya nyalakan, sangat membantu saya dalam mengatasi kekurangan cahaya yang seharusnya tidak terjadi itu.

Baterai ponsel saya ternyata sudah di bawah 30%, yang saya tidak tahu apakah bisa bertahan hingga listrik kembali menyala atau menjadikan saya rela berpisah sementara dengan ponsel saya itu.

Hal ini menggelitik saya untuk duduk di pojok kamar dan berpikir akan sebuah hal.

Selama ini kita dimanjakan oleh teknologi, apakah itu akan membuat kita menjadi lemah dan kehilangan identitas utama sebagai manusia?

Setiap peradaban manusia memiliki zaman atau eranya masing-masing. Dan kita hari ini sedang berada di area puncak yang mungkin ke depannya akan ‘turun gunung’.

Mengapa bisa saya simpulkan demikian?

Dahulu, sekitar tahun 1900-an, orang-orang memiliki impian bahwa di masa depan, kecanggihan teknologi akan membuat peradaban menjadi luar biasa di bawah naungan utopia. Mobil terbang, kota melayang, dan mungkin perjalanan ke luar angkasa lebih terjangkau.

Nyatanya? Hari ini mungkin yang kita saksikan lebih condong ke arah distopia daripada utopianya.

Masalahnya, kita sudah menyaksikan sebuah kado teristimewa yang diberikan para pegiat teknologi itu, justru mulai memangsa dan menggerogoti porsi hidup masyarakat yang belum terbiasa hidup berdampingan dengannya.

Karena AI, banyak masyarakat yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), dan itu baru secuil dari seramnya distopia teknologi yang seharusnya menjadi utopia. Kelihatannya, dampaknya menjadi lebih buruk semakin berganti tahun.

Padahal, seharusnya manusia menciptakan AI untuk menjadi asisten agar memudahkan kehidupan para manusia, nyatanya manusia itu sendiri yang membuat AI menggantikan mereka.

Kemudian beragam informasi dan hiburan yang tak terhingga dalam genggaman membuat para manusia lebih betah di tengah video pendek sosial media daripada menggeluti aktivitas yang menjadikan mereka sebagai seorang manusia.

Artinya, manusianya itu sendiri yang tidak siap dengan kecanggihan teknologi dalam genggaman. Akibatnya, manusia tidak memiliki nilai lebih daripada teknologi ciptaannya itu sendiri.

Apakah teknologi membuat kita menjadi sedemikian lemahnya? Sejujurnya saya melihat orang-orang di sekeliling saya masih memiliki mental yang lebih tangguh pada awal-awal tahun 2010. Di saat kemudahan-kemudahan onlineΒ masih belum menjamur.

Maksudnya, saya mencintai setiap kemudahan karena itu bisa menolong setiap aktivitas kita. Hanya saja, saya tidak ingin kemudahan itu menjadi bumerang bagi yang menyalahgunakannya atau terlalu bergantung akannya.

Sekarang, tidak jarang saya lihat beberapa orang yang tidak ingin berangkat ke kantor jika tidak menggunakan transportasi daring. Ada yang hanya ingin makan siang lewat pemesanan makanan dari telepon genggam. Serta tidak ada waktu yang mereka habiskan kecuali dengan sosial media di jari mereka.

Semakin banyak hari ini yang kita romantisasi dan menjadi ajang drama. Jejaring sosial alih-alih penuh dengan motivasi dan inspirasi, melainkan penuh dengan keluh-kesah dan permasalahan sesuatu yang seharusnya tidak menjadi masalah sama sekali.

Seperti menyebut bahwa “Jakarta itu keras” di tengah kemudahan transportasi masal dan berbagai akses hiburan dan fasilitas publik. Lalu bagaimana dengan mereka yang bukan “budak korporat” dan tinggal di daerah yang rawan longsor, bekerja naik turun gunung dan berdiam di pasar-pasar, dengan fasilitas publik yang begitu minim?

Seharusnya tugas para “budak korporat” tersebut adalah berkontribusi sebagai orang yang tinggal di kota guna menjadi penyeimbang bagi orang yang hidup di desa. Masing-masing memiliki fungsi dan pekerjaan tersendiri, bukan sebagai ajang kompetensi yang sarat drama.

Belum lagi sebagian dari kita yang lebih memilih mencari aman dan mencoba mengabaikan faktor yang membuat kita tidak nyaman. Semua itu kita lakukan karena mungkin sudah larut dalam kemudahan teknologi yang begitu instan kita akses sehingga kita tidak menyadari berbagai bahaya mengintai di luar zona nyaman kita.

Ironinya, kita menginginkan pemerintah berbuat sesuatu untuk kita di saat kita tidak berbuat apa-apa untuk kebaikan diri kita sendiri.

Setiap hari kita hanya mengeluh bahwa hidup kita hanya berputar-putar di situ-situ saja. Kemana kemudahan teknologi yang seharusnya bisa membuat diri kita lebih baik lagi?

Tak kita sangka teknologi justru membuat kita menjadi lebih mudah terserang penyakit mental karena kemudahan-kemudahan itu memperkecil ruang gerak kita dan menurunkan fungsionalitas kita sebagai manusia.

Belum lagi setiap kemudahan teknologi memiliki “timbal balik tersembunyi” yang sangat mengerikan. Tidak menutup kemungkinan teknologi-teknologi tersebut memiliki masa berakhir dan meninggalkan kita di tengah asyiknya kita dengan teknologi tersebut.

Pemrosesan AI memiliki biaya yang tinggi dari sisi finansial dan lingkungan. Emisi karbon yang dihasilkan pada setiap penggunaan AI akan terakumulasi di bumi ini lambat laun dan membangun bom waktu yang siap meledak kapan saja.

Tidak, saya tidak melarang penggunaan AI dan teknologi lainnya, karena saya pun salah satu penggunanya. Hanya saja, saya ingin meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai hal ini.

Pertanyaannya, apakah kita memiliki rencana cadangan dari setiap fasilitas yang kita nikmati? Bisakah kita hidup tanpa sosial media? Dan untuk yang tinggal kota, bisakah kita hidup tanpa transportasi daring?

Maka dari itu, saya akhir-akhir ini mencoba untuk menerapkan prinsip 2:1, yang artinya setiap satu jam skrol media sosial, saya harus mengalokasikan dua jam untuk kebaikan diri saya sendiri, apa pun. Entah membaca, produktif, hingga refleksi diri.

Jadikanlah teknologi itu menjadi pijakan untuk membuat hidup kita lebih baik lagi, memiliki manfaat kepada sesama, dan menyingkirkan orang-orang yang enggan memperbaiki diri.

Lagi, sebaiknya kita melakukan identifikasi saat kita sudah kecanduan teknologi agar kemudahan tersebut tidak balik merusak hidup kita.

Jangan sampai ketergantungan kepada transportasi daring membuat kita malas berjalan kaki dan lebih rentan terserang penyakit fisik.

Jangan sampai ketergantungan kepada sosial media membuat kita tidak bernilai hingga membuat orang lain bahkan teknologi lebih mudah menggantikan kita.

Setiap romantisasi dan drama yang kita konsumsi di internet hanya akan menggerogoti kehidupan baik kita sebagai manusia. Jika sebuah kita tidak bisa membantu atau menyelesaikan sebuah masalah, maka hindarilah drama tersebut.

Mari, para pencipta teknologi pun juga menunggu perubahan baik dari diri kita sebagai manfaat dari kontribusi mereka kepada dunia.

Suka
Komentar
pos ke FB
pos ke X
πŸ€— Selesai! πŸ€—
Punya uneg-uneg atau saran artikel untuk Anandastoon?
Yuk isi formulir berikut. Gak sampe 5 menit kok ~

Sssttt... Anandastoon punya journaling sebagai info di belakang layar blog ini.
Klik di mari untuk menuju halaman diarinya.

  • 0 Jejak Manis yang Ditinggalkan

    Minta Komentarnya Dong...

    Silakan tulis komentar kalian di sini, yang ada bintangnya wajib diisi ya...
    Dan jangan khawatir, email kalian tetap dirahasiakan. πŸ˜‰

    Kembali
    Ke Atas