“Ting”, sebuah notifikasi dari Instagram berbunyi. Ah, paling cuma orang nge-like foto, jadi saya abaikan. Saya benar-benar bersalah sepertinya karena ternyata itu adalah sebuah DM, alias Duit Melulu, ehm, maksud saya Direct Message. Siapa ini? Oh, dari pengunjung blog ini, minta “kalo ada curug lain di Bogor bilang yakk… dirikkuh mo ikut jugakk.”
Ah, is that a miracle for jomblo like me? Beneran lho, dia perempuan. Hahah. Eh, sebentar, apa di Bogor masih ada air terjun yang ramah angkoters? Seketika itu pula terdengar orkestra jangkrik.
FINE! Ta acak-acak kembali Google Maps dan saya menemukan sebuah penanda indah dekat Curug Ciampea yang bertuliskan Curug Cipeuteuy. Kuy lah gak jauh kayaknya dari pemberhentian angkot terakhir itu. Cumaaa… 2km. Okehhh tidak masalah. Tapi si doi mau nggak ya diajak jalan kaki begitu? Yowis ta DM balik dan ternyata dia setuju. Jadi hari Sabtu itu koes capcuy. 😀
Stasiun Pasar Minggu kita bertemu, dududu ~
Dia dari stasiun Kota, sampai jam 9 pagi kami (caila “kami”, biasanya “saya”) bertemu di stasiun Pasar Minggu, kemudian cuss ke Bogor. Bye Trafi, dirikuh tak perlu mengandalkan dikau enimor seperti episode-episode jalan-jalan saya yang lalu, padahal ya sebenarnya yang ini gak perlu pakai Trafi sih, rutenya sama seperti Curug Ciampea cuma beda gang masuk dikittt hehe…
Angkot ke Laladon ke pemberhentian terakhir, angkot ke Tenjolaya sampai ke pemberhentian terakhir, dan kami berjalan kaki hingga ke pemberhentian terakhir. Udah gitu ajah.
Btw kami shalat zhuhur dulu di masjid yang dulu saya pernah lewatin pas ke Curug Ciampea. Yah, Gunung Salaknya ngumpet di balik awan. Malu mungkin melihat saya yang sudah tidak “terlihat” jombles lagi hehe… Ya sudah kami akhirnya lanjut berjalan ke arah Curug Luhur melewati tikungan plus turunan tajam untuk sampai ke…
Yup, tinggal masuk. Jalanannya hanya muat satu mobil saja sebenarnya, itu pun harus ‘maksa’. Saya lupa jalanannya aspal atau beton ya… Dari sini jalanan terus menanjak dan menanjak hingga kami menemukan warung terdekat untuk dibuatkan Indomie, hitung-hitung melepas lelah. Oh saya dapat quote dari si doi, “Indomie paling enak adalah indomie yang dibuatkan oleh orang lain.”
Itu ceritaku, mana ceritamu?
Ok lah, kami melanjutkan perjalanan melewati perkampungan dan terus lurusss… hingga akhirnya jalan terbelah (ambil yang kiri, yang lebih sempit, ada tulisan ke arah camp cuter, apa? Cuter? Itu bahasa Inggris?) dan it’s the end of the asphalt. Jalanan semuanya berubah jadi tanah becek yang lebarnya cuma selangkah. Tapi banyak sepeda motor sih yang lewat. Pada mau kemping sama lihat air terjunnya. Tapi, tapi, kalau hujan bisa dilewati itu jalannya? Ditambah lagi jalanannya berbatu dan tidak rata.
Sepanjang perjalanan kini saya ada teman ngobrol, biasanya selalu sendiri hanya dengan ditemani musik sedih bhahah. Oh iya, doi bilang katanya dikira Curug Cipeuteuy yang dimaksud adalah yang di Majalengka. Hebat banget mau One Day Trip ke sana. Saya tidak tahu, namanya sama. Banyak pohon pete mungkin di sana tadinya? Atau sampai saat ini?
Oh, kata warga, air terjunnya lagi kecil. Mungkin karena musim kemarau kali ya. Tidak apa deh, yang penting kami bisa lihat ini.
Ah, pemandangan yang dirindukan. Btw banyak bocah Yutuber di sini, aduh bilang Subscribe channel kami saja masih pada belepotan ya hahah. Ya sudah, kami tinggal lurus saja. Karena hutan pinus di depan kami adalah gerbang masuknya. Kami berjalan hanya perlu setengah jam saja.
Oh, kami juga bertemu jurnalis media Eropa, atau apa itu saya tidak mengerti. Orang kita juga, hanya saja sepanjang perjalanan kami bicara bahasa Inggris campur aksen Sunda. Hahah. It’s great to know these people. Karena ternyata benar, orang-orang Bolkis alias Bule jika melihat sawah itu seperti melihat malaikat turun dari langit gitu lho.
O Em Jiii! Look! A ricefield. WOW! RICEFIELDS!!!
Kira-kira begitu. Yaampun hahah. I understand sih about circumstances negeri mereka. Kita juga sama kok jika melihat salju di negara mereka. Saya kenalan ibu jurnalis tersebut yang bersama suaminya, dia bernama ibu Syifa. Akhirnya saya berjalan bersama dari gerbang masuknya.
Tepat sebelum gerbang masuk ada situs megalitikum Arca Domas Cibalay, cuma sisa reruntuhan sih, tapi jika dilihat-lihat mirip kuburan tua, saya tidak mau foto hahah.
Oh, tiketnya Rp20.000 jika hanya melihat air terjunnya dan Rp30.000 jika ditambah dengan acara kemping. Saya tidak tahu sih mengapa dibedakan. Tapi yasudalah. Sekarang tinggal menanjak dikittt dan berheppi ria.
Sampai di atas, kami berjumpa kembali dengan hutan pinus dan banyak tenda di sana yang dipasang oleh orang-orang yang ingin bercampur dengan alam hingga menjadi adonan kue yang dapat dijual dan dinikmati. Yowis, dari sana kami turun dan langsung menuju air terjun di sebelah kanan yang ternyata…
Yahhh airnya tipis…
Yasudalah nikmati aja. Namun airnya bening sih, berendamable. Selain itu… oh iya, sekarang kan saya tidak sendiri, jadi ada seseorang yang bisa… motoin saya! YEY!
Kamera, jepret!
Halah, belagak baca! Dasar pentil becak! Bhahahah.
Ah, alhamdulillah nikmatnya. Tapi tidak lama sekawanan manusia mulai menyerang dan pada buka baju. Si doi nggak suka melihat pria pada buka baju jadinya kaboor deh. Tapi sama si suami jurnalis itu diajak ke air terjun satunya lagi yang tidak jauh dari sana. Saya lihat masih jam setengah dua lewat. Yasudah saya iyakan.
Di dekat air terjun ada jembatan bambu. Kami menyebrang.
Ternyata di bawahnya ada tangga bambu curam yang hanya ditahan oleh batang pohon menuju air terjun yang satunya. Wah, bisa nggak ya turunnya? Licin, tangganya basah. Super hati-hati sih, nah si doi juga kesusahan turun. Tapi alhamdulillah dibantu dengan ‘ribut-ribut’ dikit akhirnya kami bisa bersama-sama menyentuh tanah dengan sempurna.
Wah ada canyon lain seperti Curug Cikuluwung! At least it’s much better than that one! Seriously. Saya buka sepatu dan lipat celana karena dasar tebingnya terendam air sedikit. Kemudian kami menemukan air terjun lain yang sebenarnya tak kalah eksotisnya. Namun sayang problemnya tadi, airnya cuma netes doang hahah.
Airnya jernih lho…
Pengunjung lain yang sedang berendam pun bertepi sambil berkata kepada teman-temannya, “Eh, awas luh ada yang mau foto-foto…”
Ok, sorry I disturb you all hahah. Setelah saya dan si suami junalis puas cekrek-cekrek para pengunjug tersebut kembali salto dan terciptalah suara “Jebyar, jebyurrr”.
Saya hanya duduk di batu sebentar sambil menikmati pemandangan sebelum saya sadar ternyata sudah gelap dan akan hujan. Wah kami buru-buru naik dengan terulangnya adegan ribut-ribut dikit tadi itu. Yang menguji nyali itu adalah tangga yang bergoyang-goyang saat kami naiki.
Akhirnya kami kembali ke atas namun pasutri jurnalis sudah lenyap bak Nyi Roro Kidul, yah, padahal belum pada share akun instagram! Hahah.
Di atas, kami duduk. Mencoba untuk menikmati maksimal suasana pohon pinus yang sejuk ini. Namun tak lama suara geledek terdengar yang mau tidak mau kami harus kabur hehe. Aduh mana pulangnya melewati lahan lapang yang tadi lagi, semoga gak kesamber petir duh.
Akhirnya kami shalat ashar di masjid dekat rumah penduduk. Mengakhiri perjalanan kami. Wah, meskipun si doi orang Bogor, tapi si doi ternyata balik lagi ke Jakarta. Yauda naik KRL bareng lagi kalobageto. Bedanya, saya turun di stasiun Pasar Minggu, si doi di Angke.
Btw, doi sudah punya pacar, saya sama doi cuma ‘kopdar’ doang kok hahah. Oh iya, akun instagram si doi adalah @shelbyra.fitri .
Ini, ada salam dari doi hehe.