Hukum di Indonesia ini adalah seperti “Tajam ke bawah tumpul ke atas” yang maksudnya adalah ketika yang salah adalah rakyat kecil, maka hukum tersebut segera diberlakukan dengan tanpa kompromi, bahkan ketika statusnya masih terduga. Namun sebaliknya, jika yang kemudian terbukti bersalah adalah orang-orang yang memiliki jabatan atau orang-orang konglomerat, maka kasusnya terbagi menjadi dua, yaitu menghilangkan kasus tersebut atau mengalihkan isu.
Apa yang menyebabkan negeri tercinta ini memberlakukan hukum yang seperti itu? Katanya hukum menjunjung tinggi keadilan dan kesamaan derajat, lalu mengapa yang terjadi di lapangan justru sebaliknya?
Paradigma kalian sudah harus diubah. Yang benar, hukum itu “Tajam ke atas, tumpul ke bawah”. Mengapa seperti itu? Karena kalian bayar pajak yang sejatinya uang yang kalian bayarkan tersebut salah satu fungsinya adalah untuk menggaji aparat pemerintah. Masalahnya, para warga terlalu lemah untuk memiliki prinsip, bahkan kelemahannya tersebut dipakai sebagai tameng utama agar mengundang belas kasihan. Salah sendiri.
Siapa di sini yang membenarkan, bahwa banyak warga yang bertingkah seperti jawara ke sesama warga, namun begitu diamankan aparat dia berontak, meminta dikasihani dan berdalih, “Kami kan rakyat kecil”. Ya selama itulah mereka akan menjadi rakyat kecil yang selalu jadi makanan empuk bagi aparat-aparat pemerintahan yang ingin melakukan pelampiasan. Kelar masalah.
Ditambah lagi prinsip diam dan mendiamkan yang telah dipatok sedari kecil membuat hal pasrah begitu saja menjadi sebuah kebiasaan yang telah mendarah daging dan menjadi mudah untuk diteror. Jadi, jika memang tidak mampu untuk mencegah kemunkaran, jangan mendiamkan atau membuat menjadi diam orang-orang yang melakukan hal tersebut. Itu dilakukan demi kebaikan mashlahat.
Masih ingat sebuah kata mutiara yang cukup populer yang bunyinya seperti ini, “Kezhaliman akan terus ada bukan karena banyaknya orang-orang jahat tetapi karena diamnya orang-orang baik.” ? Iya, sayangnya hal itu hanya sebatas kata mutiara, tanpa ada penerapan sama sekali.
Wahai para penegak hukum, kalian beraninya hanya dengan rakyat kecil! But wait! Saya beri sebuah permisalan, mohon para pembaca agar dapat menjawab sesuai dengan nuansa hati kalian, sejujur-jujurnya.
Jika ada dua orang melakukan kesalahan yang sama, di mana orang pertama adalah seorang anak kecil dan yang lainnya lagi adalah seorang brigadir jendral, yang mana yang lebih condong kalian tegur?
Iya, kebanyakan pasti akan memilih lebih condong menegur anak kecil, dan sepertinya hal itu sudah membudaya di dunia. Maka jangan heran para penegak hukum dan pemerintah lebih memilih menghukum rakyat kecil dibandingkan dengan para pejabat pemerintah meskipun bentuk kesalahannya adalah sama persis.
Hal ini juga pernah terjadi di zaman Rasulullah saw. Perhatikan kisah berikut :
Saat penaklukan Kota Makkah di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, orang-orang Quraisy pernah kebingungan menghadapi permasalahan seorang wanita bangsawan yang ketahuan mencuri. Maka mereka berkata: “Siapa kiranya yang berani mengadukan permasalahan ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?”
Maka sebagian mereka mengusulkan: “Siapa lagi kalau bukan Usamah bin Zaid, orang yang paling dicintai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.”
Lalu wanita itu dihadapkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan Usamah bin Zaid pun mengadukan permasalahannya kepada beliau, tiba-tiba wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berubah menjadi merah seraya bersabda:
“Apakah kamu hendak meminta syafa’at terhadap sanksi dari Allah (yang telah ditetapkan)?!”
Kemudian beliau saw. bersabda lagi,
“Amma Ba’du. Sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah manakala ada orang yang terpandang dari mereka mencuri, maka merekapun membiarkannya. Namun jika ada orang yang lemah dan hina di antara mereka ketahuan mencuri, maka dengan segera mereka melaksanakan hukuman atasnya. Demi Dzat yang jiwaku berada tangan-Nya, sekiranya Fatimah binti Muhammad mencuri, sungguh aku sendiri yang akan memotong tangannya.”
Negara yang berbasis hukum seperti yang telah dijelaskan pada UUD 1945 pasal 1 ayat (3) ini ternyata belum mampu menegakkan hukum dengan semestinya. Tebang pilih dan ketakutan terus menghantui para penegak hukum.
Maka dari itu para aparat telah mendapatkan ujian yang sangat besar dalam menangkap kasus pemerintahan namun gesit menghukum dan menyiksa rakyat kecil. Padahal rakyat kecil itulah yang telah menggaji mereka melalui pajaknya.
Dan mereka lupa, bahwa doa orang teraniaya diterima di atas langit
Mulai sekarang, cobalah untuk tidak membela teman atau keluarga yang memang melakukan sebuah kesalahan, karena penyakit dan akar permasalahan dimulai dari rasa solidaritas yang salah.
—<(Wallaahu A’lam Bishshawaab)>—