Tol Cipularang
urban legend by : anandastoon
Mungkin untuk orang-orang yang bermukim di Pulau Jawa bagian barat mengetahui angkernya sebuah tol yang menuju Bandung bernama Tol Cipularang. Konon katanya, ketika masa pembangunan, para kontraktor tidak mengindahkan budaya leluhur setempat sehingga banyak akhirnya mahkluk-makhluk yang tak kasat mata, penghuni kawasan tersebut, merasa marah dan mengganggu setiap pengemudi yang kebetulan lengah.
Besok aku harus menghadiri acara reuni di Bandung. Malamnya aku dihubungi temanku yang bernama Hendi sambil menawarkanku untuk memakai mobilnya. Karena tawaran tersebut malam itu juga aku ke rumah temanku Hendi sekaligus menginap agar langsung berangkat esok paginya. Di rumahnya, aku bertanya mengapa bukan dia yang mengendarai mobilnya, mengapa harus aku? Lalu Hendi mulai bercerita,
βBesok kita harus berangkat jam 6 pagi. Sedangkan acaranya dimulai jam 8. Perjalanan paling cepat adalah dengan melewati Tol Cipularang. Aku sudah tidak berani lagi lewat sana, makanya aku menyerahkan kemudi kepadamu.β
βWaktu itu…β Lanjut temanku, βAku bersama temanku lewat sana karena suatu urusan. Aku ingat betul di KM 90 aku melihat ada truk berlawanan arah menuju mobilku. Aku kaget dan langsung sedikit membanting stir, untungnya aku berhasil menghindar. Kemudian kupinggirkan mobilku lalu aku dengar banyak klakson berbunyi.β
βKau tahu apa yang terjadi berikutnya?β Tanya temanku Hendi yang sepertinya ia tidak terlalu membutuhkan jawabanku.
βAku menyadari aku melawan arah. Jadi sebenarnya tadi truk itu berada di jalan yang benar. Aku kaget setengah mati dan mulai berbalik arah. Ini tidak masuk akal bagaimanapun. Pada saat itu aku lihat bahwa aku berada di KM 97. Bohong! Pikirku. Kejadian yang hanya berlangsung sesaat itu memakan jarak hingga 7 kilometer?β
Aku mendengarkannya sambil menelan ludah. Hendi berpesan agar aku tidak melamun selama mengemudi, kemudian menyuruhku untuk tidur.
Paginya, aku menunggu temanku yang satu lagi yang katanya ingin ikut bersamaku. Dia bernama Ramlan. Jadilah pada saat itu aku bertiga pergi menuju Bandung. Akupun melewati Tol Cipularang. Namun di tengah-tengah perjalanan, aku melihat sebuah mobil terguling di tengah tol tersebut. Tepat di KM 92. Teman-temanku juga menyadarinya sambil berkata kepadaku agar hati-hati mengemudi mulai KM 90. Karena di KM inilah banyak kejadian mengerikan terjadi.
Karena aku fokuskan pikiranku, akhirnya kami tiba dengan selamat. Acara reunipun berjalan dengan lancar, tetapi sayang, karena terlalu asik berkumpul dengan teman-teman lamaku hingga berjam-jam, aku dan teman-temanku lupa bahwa hari sudah mulai gelap. Hingga akhirnya acara selesai pada pukul 9 malam, kami bergegas pamit.
Tol Cipularang pun kulewati lagi. Tadinya aku ingin memberikan kemudi ini kepada temanku yang satunya lagi, Ramlan. Namun sayangnya dia belum dapat menyetir. Dan justru dia tertidur di jok sebelahku. Lalu aku tidak tahu kenapa sepertinya semua orang dalam mobil ini tertidur pulas, baik Ramlan yang di sampingku, maupun Hendi yang di belakangku, semuanya tertidur nyenyak kecuali aku.
Di saat-saat seperti itu aku merinding sekujur tubuhku. Ada yang tidak beres, pikirku. Aku melihat bahwa aku sudah ada di KM 97, memasuki gerbang alam lain di tol ini. Tidak sengaja aku melihat ke arah spion tengah mobil, aku menemukan sesuatu yang sangat menakutkan.
Seseorang duduk di jok paling belakang, menatapku dengan melotot. Matanya yang merah seakan sedang marah, terus menatapku lewat kaca spion tengah. Di tambah aku tidak dapat melihat jelas bagaimana sosoknya. Jelas aku dibuatnya ketakutan setengah mati. Namun aku sadar aku harus fokus menyetir ke depan. Sambil satu tangan ini memegang kemudi, tangan yang satunya lagi kugunakan untuk membangunkan Ramlan yang duduk di sampingku. Aku hanya dapat memukul-mukulnya, sedangkan mulutku ini seakan terkunci rapat-rapat. Berkali-kali kupukul dia tidak kunjung bangun, aku sempat berpikir apakah dia masih hidup?
Di jok paling belakang, apapun itu, masih terus menatapku. Bahkan warna merah matanya semakin bersinar. Aku langsung palingkan wajah lagi ke depanku. Aku ingin cepat-cepat keluar tol ini, perjalanan ini terasa seperti melambat. Aku bahkan tidak tahu sekarang sudah sampai di Kilometer berapa. Aku hanya terus fokus mengemudi dan mengemudi. Dua orang temanku tidak dapat membantuku. Mereka lelap tertidur.
Beberapa saat kemudian kuberanikan diriku untuk melihat spion tengah lagi. Oh tidak. Ternyata sosok itu sudah berada di jok tengah mobil. Bagaimana ia bisa pindah? Sejak kapan? Yang jelas ia masih terus menatapku dengan melotot. Sinar matanya yang merah itu sudah cukup membuatku sangat ketakutan. Dan sosok itu bergerak perlahan, kearahku. Ketakutanku semakin menjadi-jadi. Apalagi aku rasakan belakang punggungku seperti ada sesuatu sedingin es menyentuhku. Aku panik, ingatanku hilang, aku pingsan.
Pipiku ada yang menepuk-nepuk. Aku terbangun dan melihat sekeliling. Banyak cahaya biru kelap-kelip di sekelilingku. Dahiku pun terasa agak sakit, yang ketika aku pegang, tanganku menjadi basah. Apa? Darah? Aku tersadar seketika, ternyata aku dikelilingi mobil petugas dan patroli. Hendi dan Ramlan kulihat sudah berada diluar dengan petugas. Tadi aku dibangunkan polisi, dan mobil yang kukendarai mengalami kecelakaan.
Kemudian para petugas menanyai perihal apa yang terjadi. Akupun mengingat-ingat. Ketika aku bercerita apa yang telah terjadi seingatku, mereka terlihat diam. Apalagi ketika sampai di bagian saat aku membangunkan Ramlan, Ramlan sedikit tidak percaya. Bahkan ia berkata begini,
βYang benar? Aku tidak merasa kau membangunkanku. Lagipula sedari awal ketika acara reuni selesai aku memutuskan untuk duduk bersama Hendi sehingga kau duduk di depan sendiri.β