Danau Galian
urban legend by : anandastoon
Setelah baru saja bercerai dengan suamiku, aku pindah ke perumahan kecil di Timur Banten. Komplek tersebut tidak memiliki banyak rumah, sedikit dikelilingi hutan dan danau cantik. Danau tersebut benar-benar cantik, mungkin dapat menghiburku di tengah-tengah rasa sendu selepas momen yang tidak menyenangkan tersebut.
Untungnya, aku bekerja di pabrik yang tidak jauh dari sini. Jadi pindahan ini lebih mendekatkanku ke tempat kerja.
Namun beruntung, seorang tetanggaku memberitahuku saat aku berkenalan dengannya. Dia bilang agar tidak mendatangi danau cantik tersebut sendirian, apalagi ketika hari menjelang gelap.
Danau tersebut dulunya adalah lubang galian tambang, namun karena terbengkalai sebab seringnya terdengar kabar bahwa lubang galian tersebut sering memakan korban dari para pekerja secara misterius, seperti tiba-tiba seorang pekerja ditemukan di dasar lubang dengan tubuh yang tidak utuh dan sebagainya, proyek tersebut ditutup dan lubang tersebut menjadi danau karena terus-menerus diisi air hujan. Warga hanya menyebutnya danau galian.
Danau tersebut hingga saat ini dikabarkan sering memakan korban. Terakhir ada seorang pria dewasa yang ditemukan tanpa kepala di pinggir danau.
Namun tetanggaku itu menenangkanku dan memberitahuku bahwa aku tidak perlu khawatir karena danau tersebut begitu ramai dari siang hingga tiba senja. Namun tetanggaku hanya memastikan untuk selalu berhati-hati, diutamakan tidak sendirian.
Aku mengangguk. Aku segera pulang ke rumah dan segera memberi kabar pembantuku dan anak perempuanku.
Suatu siang perasaanku dilanda ketidaknyamanan. Aku entah kenapa bangkit dari kursi yang sering kupakai bersantai di halaman belakang dan bergegas menuju rumah. Aku hanya memastikan semuanya baik-baik saja.
Anakku tidak ada. Aku cari di kamarnya, kosong. Tidak kutemukan di seluruh penjuru rumah. Aku panik. Pembantuku juga masih belum pulang dari pasar. Aku mulai keluar mencarinya.
Dan kau tahu, aku menemukan anakku menuju bibir danau, sendirian. Entah kenapa hari itu sangat sepi. Segera aku panggil dia dan aku langsung membawanya ke rumah. Ketika aku bertanya kenapa, katanya dia ingin melihat bunga-bunga yang berada di pinggir danau, yang ia lihat saat kami dalam perjalanan menuju rumah baru ini.
Mendengar itu terpaksa aku memarahinya habis-habisan sampai ia menangis karena aku tidak ingin terjadi apa-apa kepadanya.
Malamnya aku mengumpulkan anakku dan pembantuku, mengizinkan anakku pergi ke danau dengan syarat didampingi pembantuku. Mereka setuju.
Akhirnya aku tidak khawatir lagi setelah karena anakku selalu meminta pembantuku untuk mendampinginya saat ingin bermain di danau.
Saat itu aku bersantai di ruang depan, kulihat anakku keluar kamarnya menuju halaman.
“Mau ke Danau?” Tanyaku. Ia mengangguk ceria.
“Sama bibi?” Tanyaku lagi. Ia kembali mengangguk.
“Ya sudah, hati-hati ya…!”
Kemudian di halaman rumah kulihat dia digandeng pembantuku untuk bermain di danau. Aku sendirian di rumah itu, aku tiba-tiba mengantuk jadi aku memutuskan untuk tidur siang. Kubiarkan pintu terbuka sedikit untuk menikmati sejuknya udara perkampungan.
Saat aku bangun, aku agak terkejut karena hari sudah mulai gelap. Aku mulai memanggil-manggil anakku namun tidak kudengar ada sahutan, sedangkan kulihat pintu depan masih sedikit terbuka.
Aku segera menghubungi pembantuku lewat telepon selular agar cepat membawanya pulang. Barangkali mereka terlalu asyik di danau. Aku akan ingatkan kembali bahayanya berada di danau itu.
Aku menelponnya, tak lama diangkat oleh pembantuku.
“Ayo, segera pulang dari danau. Hari sudah gelap.”
“Maaf Bu, tapi saya baru saja bangun tidur karena tadi mendengar ibu terus memanggil si nyonya.”