Alhamdulillah saya sudah punya kendaraan sendiri. Masih bersama si Pirikidil pemirsah…! Hah? Pirikidil? Siapa itu? Kalo penasaran baca di sini aja ya, saya males ngetik lagi hehe… *huuuPemalas!
Saya tuh mau coba turing sendirian sekalian ngelancarin naik motor ih. Tapi kok ya ini artikel saya labeli dengan wisata dengan angkot? Don’t worry, sebagai alumni angkoters tahun jebot, sesama ngetengers saya paham kok. Maka cobalah temukan akses angkutan umum di tumpukan paragraf sepanjang artikel ini ya hahah.
Pantai Sawarna, saya kadang-kadang sebel sendiri melihat postingan orang-orang kok ya pada pamer pantai yang ada dua batu nyembul begitu dari lautnya. Ih pengen sumpah. Oh iya, saya korbankan aja si Pirikidil nih! Maaf ya Pirikidil dirimu akan saya jadiin sesajen aktivitas turingQuh! Berapa jaraknya dari indekos saya? 180km, ‘ucet!
Penjaga apartemen saya kaget kok tumben pagi banget saya bangun? Padahal udah jam setengah sembilan. Wah emang selama ini saya tukang bangun siang ya?! Iya sih… malu diriku mengakuinya. Ih padahal saya maunya berangkat abis solat subuh, tapi apa daya dekapan dan kasih sayang dari kasur ini benar-benar memiliki efek yang maha dahsyat.
zzzzz…
Oke gaskeun! Sendirian? As always dong! Alhamdulillah dari indekos saya kalau ke Bogor tinggal luruuussss doang sampe bosen. Searah sama bus Transjakarta koridor 10, terus masuk Jalan Raya Bogor, dan memang mentoknya di Bogor. Setelah itu saya ke Ciawi, cuma nggak belok ke Puncak dong, yang pasti beloknya ke arah Sukabumi.
Oh iya, ada pemandangan di sekitar pintu tol Bocimi yang waktu saya mau ke Curug Cikaracak tuh bagus banget. Pemandangannya diblok sama Gunung Salak. Alhamdulillah akhirnya bisa juga saya potret.
Saya mau coba ah lewat Cikidang yang jalannya, tikungannya, tanjakannya, turunannya, begalnya, semuanya mantap! Modal bismillah, saya masuk ke jalan Cibadak yang menuju Cikidang.
Beuh treknya! Maaf ya saya norak, mungkin bagi orang yang sudah biasa turing bakal jadi mangsa yang empuk, tapi bagi saya yang baru belajar sepeda motor bahkan belom punya SIM, well, ini tuh monster hahah. Saya mau bikin SIM nunggu Samsat buka gegara tutup pas wabah hehe…
Tapi sepanjang jalanan itu…
Yang paling parah ya pas saya lewat jalur ‘tengkorak’nya Cikidang itu yang udah terkenal rawan kecelakaan karena treknya super kejam. Teman saya yang pernah mengajari saya sepeda motor saja menyebut bahwa jalur itu adalah final boss. Terbukti banyak betul spanduk dan plang rawan kecelakaan dari kepolisian setempat sampai saya bosen liatnya. Walah walah, mending kalo cuma turunan mah, ini turunannya patah plus dibumbui dengan tikungan sadis. Saya tekan rem dua-duanya aja masih tembus 50km/jam!
Jadilah saya menuruni trek maut itu dengan teriakan yang sampai tembus delapan oktaf sepanjang jalan. Sebagai perbandingan, pernah dengar perempuan yang ingin ditabrak mobil di sinetron-sinetron? Kan ada adegan teriak-teriak yang super lebay tuh, nah saya ini lebih parah dari itu. Beberapa pengendara yang sedang istirahat di pinggir batas jalan sampai nengok semuanya ke saya. Untung saya pakai helm full face yang visornya gelap hahah.
Finally, sampai Pelabuhan Ratu, pukul satu siang. Dengan ngos-ngosan, nggak percaya kalau saya ternyata masih hidup setelah dibombandir dengan jalur super brutal itu. Alhasil saya laper, mau melipir di pantai ah sebentar sambil makan indomie. Pas saya lagi makan ada orang lagi pengen pamer mogenya di pinggir pantai, kayaknya lagi bikin instastory, isengin ah, cekrek!
Masih 50km lagi ternyata ke Sawarna, yah tinggal sejam lewat lagi. Jadilah setelah saya solat dan makan, saya mulai melanjutkan perjalanan melewati daerah antah berantah yang ternyata treknya juga nggak kalah brutal dari yang di Cikidang tadi! Saya sampai gagal nikung dua kali, yang pasti jauh lebih bahaya daripada nikung pacar orang lho!
Gagal nikung gimana? Iya, pas saya belok di tikungan pas turunan curam, saya mengabaikan gaya sentrifugal (halah) yang membuat saya keluar dari lajur yang seharusnya. Biasanya kalau saya mau belok, saya sudah ambil ancang-ancang menikung sebelum tikungannya, nah ini saya baru belok pas udah di tikungannya, untung nggak ada kendaraan lain dari arah berlawanan.
Selanjutnya jalanan seakan menjadi sebuah pola: Tanjakan ekstrem, tikungan tajam hampir 180 derajat, turunan ekstrem, tikungan tajam hampir 180 derajat, kemudian ulangi. Terus begitu sampai 50km ke depan, terutama ketika saya sudah berbelok ke jalan yang lebih kecil ke arah Sawarnanya. Alhamdulillah si Pirikidil kuat nanjak, dan aspalnya yaa… lumayan bagus lah meski ada jerawat-jerawatnya dikit…
Serem… serem! Saya yakin kalo polisi tahu saya begini mungkin udah nggak perlu tes mengemudi lagi nanti pas buat SIM, udah langsung lulusin aja ya pak anak bangor yang satu ini.😂😂😂
Sampai akhirnya ada plang Pantai Sawarna di situlah saya memuji Allah secara maksimal. Alhamdulillah akhirnya sampe jugaakkkk! Eh ada spanduk gede yang bertuliskan, karena masih dalam masa COVID-19, wisata pantai kami tutup sementara!
Eh ada warga desa yang mengarahkan saya ke sebuah jembatan gantung panjang yang cuma muat satu sepeda motor tok dan saya harus berkendara lewat situ. Mampus deh gueh. Selama saya memutar gas di jembatan itu, pemandangan di bawah itu adalah sungai besar yang alirannya seakan sedang menuju tempat jualan yang diskonnya gede-gedean. Emak-emak pasti paham gimana ganasnya hahah.
Setelah itu mulailah saya tiba jalan kecil melewati rumah-rumah penduduk, yang kanan kiri bertuliskan “Homestay”. Ohhh… homestaynya mahal-mahal nggak ya? Saya ada budget 200ribuan doang sih… Nggak apa-apa sederhana juga yang penting saya cuma mau numpang bobok doang.
Kemudian saya melewati sawah-sawah dan kembali ke pemukiman penduduk. Ini jalan semakin sempit, sedangkan saya harus berjalan di pinggir karena banyak orang-orang yang wara-wiri di jalan itu, terkadang dari arah yang berlawanan juga ada sepeda motor yang ingin lewat. Bener-bener saya harus jadi kayak akrobatik aja jaga keseimbangan si Pirikidil ini.
Dan tidak lama kemudian seberkas cahaya dari ujung muncul, saya menghampiri secercah harapan itu dan ketika saya telah sampai di penantian saya dapatkan…
Pada akhirnya 180km dengan trek yang tidak berprikesepedamotoran telah berhasil kutaklukan wahahah. Ya sudah saya langsung parkir di depannya dan yang pasti langsung main air kecipyak-kecipyuk bak anak TK yang baru aja diajak study tour ke kolam renang. Eh, study tour kok ke kolam renang?
Saya hanya basah-basah kaki aja kok, untung bawa sendal. Saya lihat airnya sedang surut dan orang-orang pada ke tengah pantai, ke dua batu yang legendaris itu. Saya cuma tidak tertarik, saya cuma mau liat Sansettt!
Ah sambil nunggu matahari kelelep saya buka laptop ah, ngoding. Yoi, programmer gitu loh.
Etapi… tapi… akh, di barat itu ternyata mendung, sunsetnya nggak dapet! Mataharinya udah disantap oleh awan-awan bandel itu duluan. Akkkk tragis!
Kata pembaca: Sokor!
Seenggaknya saya dapet sih yang paling sedikit mendekati…
Yah disyukuri aja.
Semakin ke sini semakin banyak anak-anak muda berplat F memarkirkan kendaraan mereka di depan muka saya, memblok pandangan saya dengan pantai. Mereka ternyata ramai-ramai bikin tenda dan kemping di sana. Saya cemberut, pemandangannya jadi hilang hahah.
Kemudian saya pergi ke warung yang persis ada di belakang saya dan mencoba memesan sesuatu, waktu itu saya pesan karedok yang harganya Rp10.000, sekaligus mau PDKT sama si teteh pemilik warung.
“Teh, ada Homestay di harga 200-ribuan nggak ya?”
“Oh ada Jang, sini saya anter.”
Jadilah saya diantar kepada seorang ibu, tidak jauh dari sana, tepat di warung depan tulisan Tanjung Layar. Si ibu menunjukkan kepada saya homestaynya dengan harga Rp250.000, namun ruangannya masih bilik, tidak ada kipas, dan kamar mandi dalam. Untungnya ada listrik sih.
Kata si ibu, “Ini ibu teh udah 4 bulan tutup Jang nggak ada pemasukan gegara wabah, ini juga ibu abis kecelakaan tangan ibu patah.”
Si ibu menyingkapkan sedikit kerudung syar’i ala emak-emaknya dan tampaklah tangan si ibu diperban dan dibopong. Aduh nggak tega saya yaudahlah Rp250ribu saya ikhlaskan untuk si ibu, si ibunya juga ramah banget sih, kayak happy gimanaaa gitu pas nerima duwidh dari saya itu.
“Alhamdulillah Jang, ibu jadi ada modal buat jualan… Nanti motornya masukin aja ke sini Jang…”
Ah, akhirnya dapat juga tempat menginap. Walaupun… yasudahlah.
Hape, leptop, powerbeng, semuanya langsung saya cas-casin. Saya juga langsung wudlu dan shalat maghrib. Kemudian? Rebahan sambil ngunggah instastory dong hehe… Ind*sat bisa dapet 4G di sini, X*L barnya penuh, Smartfr*n yang nggak ada sinyal mah, padahal ada kuota sampe 1GB lebih.
Malamnya pukul 20.00 saya ke pantai sambil menikma… Eh pantainya gelap enggak keliatan! Lampunya cuma ada di tulisan Tanjung Layarnya doang. Yasudah saya duduk saja sambil dengerin musik-musiknya ABBA yang temanya pas sama pemandangannya. Ah, menyatu dengan suara deburan ombak yang aduhai, merasakan sensasi angin pantai yang lumayan kencang, subhanallahi wa bihamdih.
Tapi kemudian suara rombongan knalpot yang baru datang memecah itu semuanya. Yah, berisik deh. Dan mereka memarkirkan kendaraannya dekat saya, tak lama tulisan Tanjung Layar itu sudah jadi bak artis Hollywood yang jadi sasaran foto-foto mereka.
Pengunjung semakin malam semakin datang silih berganti. Aduh ogut mending cari dinner lah. Alhamdulillah dapet bakso, cuma Rp10.000, namun kali ini saya menyantap bakso dengan pemandangan sepeda-sepeda motor yang terparkir. 😐😐😐
Dah ah, mobobok saya. Seenggaknya meskipun momen sanset agak mengecewakan, saya mau liat sanrais bada subuh besok. Bye…
Kasurnya empuk, bantalnya keras.
Ok skip bagian ketika saya bermimpi, intinya subuh sudah tiba, setelah shalat subuh saya langsung bergerak ke pantai yang sudah dipenuhi pengunjung yang seakan sedang menunggu kembang api hitung mundur tahun baru. Saya lebih memilih duduk di salah satu batu karang di pantainya. Kebetulan airnya sedang pasang jadi tidak ada yang ke tengah pantai.
Beuh, ombaknya galak-galak, baru aja duduk di titik aman, langsung kesembur air asin jadi basah kuyup semua. Ngungsi, ngungsi! Saya mengamati arah timur menunggu benda langit yang bulat besar itu untuk mulai mengintip makhluk-makhluk imut di planet biru ini. Ayo dong, terbit, terbit…
Yah, tempat terbitnya ketutup pepohonan, yasudalah, saya lebih cari objek lain untuk foto-foto. Eh, banyak fotografer di sini, yang pakai filter gelap untuk long-exposure begitu. Saya mau beli filter begitu cuma males lah, yang hasil fotonya halus begitu udah banyak sampai saya jenuh dengan foto-foto begitu jadi saya udah nggak tertarik meskipun fotonya akan jadi auto-bagus.
Oh, kenapa nggak fotografernya aja yang saya jadiin objek sekalian?
Iyes. Korban foto saya total sudah dua orang, apa kini saya sudah bisa disebut psikopat? Wahahah.
Setelah itu saya bertemu dengan traveller-traveller rombongan dan bercengkrama dengan mereka. Mereka kaget mendengar saya ke sini sendirian, dari Jakarta lagi, pertama kali lagi, baru belajar motor lagi! Akhirnya saya berjalan dengan salah seorang dari mereka hingga sampai ke sisi satunya. Dari sanalah saya lapar dan saya mulai sarapan.
Tapi sebelum itu, cekrek lagi ~
Yup, masih sarapan nasi uduk yang seharga Rp15.000 di warung yang kemarin. Kemudian setelah saya kebahak, saya langsung kembali ke penginapan untuk kembali bobok. Saya hanya merasa saya sedang berada dalam pengasingan, tapi saya menikmatinya, buktinya saya setelah itu langsung tertidur pulas hingga lupa bahwa sudah hampir jam 11 siang ketika melihat jam setelah terbangun.
Wah, kesiangan! Yasudah saya buru-buru ke kamar mandi, ganti baju, sholat dhuha, dan pamit.
Oh iya kelupaan, akses angkot yah?
Saya berbincang dengan si ibu pemilik homestay, beliau bernama ibu Nunung. Oke langsung ke pembicaraannya saja ya.
Kata beliau, “Dek, di sini angkot cuma sekali aja ke Pelabuhan Ratu itu pun berangkatnya jam 6 pagi. Kalau dari Terminal Pelabuhan Ratunya berangkat jam 1 siang. Tarifnya Rp30.000. Kalo kelewat angkotnya bisa naik ojeg sampai pertigaan di Gunung Batu, dari sana banyak elf ke Pelabuhan Ratu. Tarif ojegnya juga Rp30.000.”
Saya mengeluarkan sepeda motor yang dibantu oleh anaknya, jelas semuanya kaget ketika saya beritahu itu adalah trial turing sendirian saya yang baru bisa naik motor ini. Sampai akhirnya mereka mengadakan upacara pelepasan dan selamat tinggal untuk saya ketika saya mulai meninggalkan mereka.
Hati-hati kaaanngggg ~
Ya Allah dramatis banget yah, udah kayak ngelepas orang yang mau merantau jauh aja hahah.
Well, kembali lagi dengan trek yang brutal, kali ini entah mengapa saya benar-benar seperti Ninja Hatori yang naik turun bukit, lembah pun saya hajar semuanya.
Pada akhirnya saya tiba juga di pertigaan Gunung Batu, sepanjang jalan saya hanya melihat angkot elf ke Pelabuhan Ratu sesekali. Mungkin nggak begitu sering ya? Tapi yasudalah, intinya saya mau ke tempat yang waktu kemarin saya lihat bagus banget. Nggak ada biaya masuk kok, cuma parkir goceng tok.
Oh, Puncak Habibie namanya. Jadi inget Ciletuh.
Ketika saya sampai di Pelabuhan Ratu, jalanan mulai macet dengan mobil, truk, dan mobil-mobil bak. Saya entah kerasukan apa pada saat itu, saya salip-salipin semuanya, di tikungan, di tanjakan, di turunan. Bahkan saya seperti membuka jalan di mana rombongan-rombongan yang turing pakai moge akhirnya membuntuti saya semua setelah mereka juga saya berhasil salip hahah.
Bahkan ada satu saat dimana ketika saya salip sebuah mobil, mobil tersebut tidak mau mengalah dan justru dari arah sebaliknya muncul kontener besar yang siap adu banteng dengan saya. Wah bakalan jadi daging cincang segar ini saya, ya Allah pasrah dah pasrah dah, mana belom bikin surat wasiat lagi.
Alhamdulillah ada celah kecilll banget saya bisa menepi di mana spion kiri saya hampir menyentuh kaca samping mobil dan spion kanan saya benar-benar hampir tergiling ban-ban kontener yang setinggi diri saya itu.
Dan saya sepertinya belum kapok.
Apa? Cikidang? Bring it ON!
Ciyang! Ciyung! Ternyata salip-menyalip itu nikmat ya hahah, adrenalin saya kekuras habis di sini. Sekali lagi, entah apa yang merasuki diri saya pada saat itu.
Belum lagi ketika sampai jalan Raya Sukabumi hingga Cigombong, kemacetan bertambah parah, saya hanya ikut rombongan sepeda motor yang lain sampai akhirnya saya selalu berada di belakang rombongan pengendara moge touring yang pengendara paling belakang punggungnya bertuliskan “Sweeper”. Itu maksudnya apa sih ya? Saya sambil menyetir sambil mengarahkan tangan kiri saya ke depan dan sambil teriak, “Sweeper jangan mencuri! Sweeper jangan mencuri!” Anak 90-an pasti tau.
Hingga akhirnya suatu saat saya terpisah dari si Sweeper itu saya mencari celah-celah mobil lain untuk saya salip-salip. Dan entah kenapa saya kembali bertemu si Sweeper itu. Saya reflek agak sedikit teriak, “DIA LAGGEEE, DIA LAGGEEE!”
Sesaat si Sweeper agak mencari sumber suara, kemudian kembali fokus menyetir. Hahah iseng betul si Anandastoon ini. Jangan ditiru ya pemirsah, bahaya hehe.
Tangan saya benar-benar pegal pada hari itu, mengangkat gelas saja seperti saya mengangkat barbel di tempat gym. Alamak! Setidaknya saya sampai di depan indekos saya pukul 7 malam lewat. Alhamdulillah.
Btw, saya baru diberitahu karyawan saya kalau ban depan saya kempes dan ban belakang saya botak. Ternyata selama saya turing kondisi bannya sudah seperti itu. Saya langsung merinding deh.