Saya waktu itu sedang mendengarkan musik ABBA, Super Trouper judulnya. Saya lupa di video Youtube yang mana, salah satu komentar teratasnya berkata,
“Ini seperti saya bernostalgia di waktu dan tempat yang belum pernah saya alami.”
Hal yang serupa juga pernah saya rasakan, biasanya ketika sedang memainkan sebuah video game atau mendengarkan musik. Pernah saya merasa jika seolah saya pernah mengalami masa-masa indah di salah satu latar levelnya. Padahal itu latar fantasi dan pastinya saya tidak pernah saya sentuh di dunia nyata sama sekali.
Atau saat mendengarkan musik, biasanya musik game atau musik artis pilihan yang melodinya seakan membawa saya ke suatu tempat yang saya rindu akannya.
Hari ini fenomena itu justru semakin sering dan sering, bagi saya.
Jika kalian pernah mengalami hal serupa, ada istilah khusus tersendiri untuk peristiwa semacam itu.
Anemoia, atau sinonimnya fauxstalgia, adalah nostalgia untuk sesuatu yang tidak pernah terjadi.
Hal ini menarik karena mengundang sejumlah teka-teki. Mengapa kita merasa terlekatkan kepada sesuatu yang kita sendiri tidak pernah mengalaminya baik langsung atau pun tidak langsung?
Saya pun bertanya-tanya, membaca banyak artikel di Google terutama rubik psikologinya untuk mengupas apa sih Anemoia ini?
Super Mario Bros. Wonder, adalah permainan tradisional 2D Mario bersaudara yang baru saja keluar beberapa bulan lalu dari artikel ini saya tulis.
Permainannya masih sangat baru, masih begitu mendidih seakan baru diangkat dari kompor.
Tetapi ada satu, atau beberapa musiknya yang saat saya dengarkan, kembali memicu perasaan anemoia saya.
Agak lucu kalau saya bernostalgia dengan permainan yang baru saja keluar. Tetapi begitulah kenyataannya. Saya terus terpikirkan masa-masa nostalgia yang tidak pernah saya rasakan dari permainan yang baru saja rilis.
Saya sampai di satu titik di mana saya menyerah mencari peristiwa saya di masa lalu yang mungkin punya kaitan dengan melodi yang memicu nostalgia ini.
Tidak ada, tidak ada sama sekali. Jadi saya simpulkan yang saya rasakan itu adalah murni anemoia.
Saya tidak dapat ungkapkan perasaan aneh saya ini kepada orang-orang karena saya yakin kebanyakan mereka pasti tidak akan mengena (relate).
Jika saya ciri-cirikan bagaimana perasaan saya saat terkena anemoia ini, peristiwanya begitu mirip dengan perasaan saat bernostalgia.
Dalam tingkat awal, nostalgia akan menghasilkan perasaan sedih ringan berupa rasa rindu. Tingkat terparahnya dapat membuat depresi hingga perasaan tidak ingin lagi melanjutkan hidup.
Saya ulangi, pemicunya tidak melulu harus sesuatu yang bertema jadul untuk merasakan anemoia. Betul bahwa banyak pemicu nostalgia dari hal-hal berbau zaman dulu, namun tidak semuanya.
Sebelum saya mengulas lebih jauh tentang efek anemoia, saya ingin menyentil sebuah hal yang memiliki keterkaitan.
Apakah nostalgia memiliki generator pemicu? Saya mengangguk. Benar sekali, nostalgia layaknya sebuah asap, dapat diproduksi oleh sesuatu atau seseorang.
Karena nostalgia memiliki tempat yang sama dengan perasaan manusia, maka ya, nostalgia dapat kita hasilkan dengan mencari pemicunya.
Saat ada orang yang berperilaku tidak menyenangkan, itu memicu perasaan sedih, atau marah.
Atau saat ada orang yang berperilaku menyenangkan, itu pun memicu perasaan bahagia, hingga rasa aman.
Lalu perilaku yang bagaimana yang memicu nostalgia atau bahkan anemoia? Benar-benar sebuah pertanyaan brilian.
Kita telah mengetahui bahwa nostalgia adalah sebuah bentuk perasaan, maka sudah pasti yang dapat memicu nostalgia adalah orang yang memahami konsep perasaan tersebut.
Dan yang saya maksud memahami perasaan di sini bukanlah memahami perasaan satu atau dua orang individual saja, melainkan keseluruhan manusia. Karenanya memicu nostalgia menjadi sesuatu yang tidak mudah. Hanya orang yang ahli memahami perasaan saja yang dapat menghasilkan nostalgia.
Atau dalam kata lain, jika seseorang minimal sudah rendah ego dan sifat individualisnya, ia akan lebih mudah memicu perasaan nostalgia manusia.
Mengapa? Karena orang yang rendah ego jarang mementingkan dirinya sendiri atau sebatas orang terdekat yang ia cinta, ia juga memperhatikan bagaimana keberadaan orang lain dan menangkap sesuatu yang luar biasa dari mereka.
Manusia memiliki lima indra terluar yang bisa menjadi celah masuknya pemicu nostalgia.
Saya ambil contoh indra pendengar atau telinga, yang mana penerima rangsangan berupa bunyi. Dari sini saya berarti mengambil contoh berupa musik, atau melodi.
Jika saya tambahkan formula di atas tadi, bahwa orang yang dapat memicu nostalgia adalah mereka yang rendah ego, kemudian menghasilkan sebuah musik, kesempatan untuk memicu nostalgia menjadi jauh lebih besar lewat alunan melodinya.
Dalam hal ini, musisi atau komposer yang berego tinggi dan dapat menghasilkan musik yang bernada enak, maka melodinya hanya sampai kepada telinga para pendengarnya.
Sedangkan komposer musik yang berego rendah, melodinya akan menembus jauh ke dalam hati para pendengarnya.
Musisi yang memiliki ego tinggi hanya dapat memamerkan kemampuannya menyusun nada-nada enak dan nikmat untuk telinga saja. Mereka tidak sampai dapat berkomunikasi dengan para pendengarnya.
Maka dari itu tidak heran para seniman pun memiliki andil dalam membentuk karakter para audiens atau bahkan fanbase mereka.
Musik yang rendah ego di sini tidak melulu harus bernada lambat atau melankolis. Berlaku sebaliknya, musik yang tinggi ego tidak melulu harus bernada cepat dan enerjik.
Beberapa musik rock atau tekno yang saya dengar di antaranya ada yang memicu anemoia juga.
Itu dari sisi pendengaran, belum lagi dari sisi penglihatan, pengecap, penciuman, dan peraba. Masing-masing bisa jadi celah masuk pemicu nostalgia.
Saya bahkan pernah melihat komentar orang-orang jika hari ini industri film kebanyakan hanya sebatas memamerkan efek visual dan kameranya saja. Kebanyakan film hari ini tidak memiliki drama relatable yang berkesan di hati para pemirsanya kecuali hanya sedikit dan sudah terlalu umum.
Misalnya, film Spider Man yang pertama kali muncul, pemeran utamanya (Peter Parker) memiliki seribu satu drama mendalam yang mana laki-laki dewasa begitu dapat merasakannya. Apalagi jika ternyata drama pahit itu tidak sampai membuat pemeran utama menjadi villain, justru menjadi seorang hero.
Film Spider Man berikutnya, benar bahwa memiliki drama, namun tidak lagi sedalam dan semengena film pertamanya.
Kembali kepada anemoia, yang mana memiliki kaitan yang sangat erat dengan nostalgia, dengan pemicu yang sama, dan hasil yang sama pula.
Saat saya mendengarkan sebuah musik dari Super Mario Bros. Wonder yang menjadi pemicu anemoia saya, bagi saya melodinya seakan berbicara sebuah kehidupan yang asri, yang mana masyarakatnya masih memiliki pendidikan kemanusiaan dan kewarganegaraan yang ketat, dengan banyak suara aliran air, entah dari sungai atau dari parit yang masih bening.
Belum cukup dengan itu, di tengahnya ada saya yang sedang berdiri menikmati keasrian tersebut, melihat penjuru yang bersih dari polusi, tidak ada kekhawatiran, tidak ada pula kegelisahan. Semuanya teratur dan berirama.
Sejujurnya, saya tidak pernah merasakan apa yang baru saja saya deskripsikan di atas, dan inilah bentuk anemoia yang berhasil keluar dari melodi musik yang saya dengarkan itu.
Saya minta tolong kepada AI untuk menggambarkan intepretasi melodi yang saya tangkap. Ini yang paling mendekati, hanya saja gambarnya kurang hijau dan cerah.
Seakan komposer musik memahami bahwa transfer perasaan adalah sebuah hal yang penting, jadi ia membuat nada yang bisa menjadi media transfer perasaan si seniman kepada para audiensnya.
Bisa jadi yang saya rasakan itu adalah perasaannya si seniman, maka dari itu saya merasakan sesuatu yang belum pernah saya alami sebelumnya.
Sekarang anggap saja kita membaca puisi tentang kelakuan manusia hari ini yang semakin buruk, misalnya. Saat kita sudah dapat menangkap isi kandungan atau maksud si pujangga, mungkin kita bisa menjadi perantara komunikasi pujangga kepada orang lain.
Ada kekuatan nostalgia dan bahkan anemoia yang kita mungkin tidak pernah sadari sebelumnya.
Berikutnya adalah inti diskusi, mengenai seringnya fenomena nostalgia dan anemoia yang sering terjadi pada banyak orang.
Hampir, atau bahkan seluruh nostalgia berasal dari sesuatu yang baik, sebab hati hanya bisa menerima yang baik untuk menjaganya tetap sehat.
Tetapi jika asupan nostalgia sudah sampai ke dalam tahap yang mengkhawatirkan, akibatnya tidak ada yang menyenangkan pada kedua arah.
Nostalgia seakan menjadi sebuah sinyal yang memberitahukan jika saat ini keadaan kita tidak sedang baik-baik saja.
Di jejaring sosial, sebagian orang selalu kembali mengelu-elukan tahun-tahun sebelum Covid, terutama masa-masa di tahun 2017 dan 2018.
Bagi kebanyakan orang, 2018 adalah tahun terakhir mereka menikmati meme berkualitas, jejaring sosial yang belum terlalu beracun (toxic), serta banyaknya hal-hal positif yang mereka lakukan.
Sebagiannya lagi memiliki inisiatif untuk menjadikan tahun 2024 ini menjadi tahun 2014 yang baru, tetapi mereka lebih memilih untuk menyerah sebelum memulai. Alasannya mudah, faktor pendukungnya tidak ada.
Bukan berarti tahun ini sudah jarang lagi kita temukan hal baik, tetapi nostalgia tidak akan terjadi jika yang kita rasakan hari ini adalah jauh lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya.
Contoh, di tahun 2020 hingga 2022, saya hampir-hampir tidak pernah merasakan nostalgia karena pada tahun itu kehidupan saya bisa saya katakan setingkat lebih baik daripada tahun-tahun sebelumnya.
Seperti, di tahun-tahun itu saya bisa mengendarai sepeda motor, saya pindah ke semi apartemen dengan fasilitas lengkap, karyawan saya bertambah, pengalaman baik saya membludak, dan lain sebagainya.
Perasaan anemoia pernah saya alami di tahun-tahun itu, namun hanya sekadar suplemen hiburan, belum menjadi sebuah serangan seperti yang saya alami di tahun 2024 ini.
Saya tidak tahu, namun saya memang merasa kehidupan sosial bermasyarakat kini sudah jauh berbeda daripada yang saya rasakan di tahun 2018, sedikit condong ke arah negatif.
Mungkin fenomenia anemoia ini menjadi sinyal bagi saya agar lebih peka terhadap sekeliling supaya terus mengampanyekan kehidupan sosial yang lebih baik lagi.
Percaya atau tidak, perasaan manusia secara naluri akan ‘memberontak’ saat yang ia rasakan tidak lagi seindah dahulu.
Eksperimen sederhana saja, cobalah bayangkan kita tinggal di tempat yang hitam putih minim saturasi warna, dengan kita hidup di alam terbuka di bangunan tempat tinggal yang kreatif dan berwarna.
Jika kita memilih hotel untuk berlibur, pasti kita memilih hotel dengan pemandangan maksimal.
Buktinya, orang yang hidup di kota-kota besar akan lebih berbahagia saat ia berhasil melihat siluet gunung dari kejauhan meski banyak bangunan-bangunan gedung modern yang menghiasi sekeliling.
Manusia hanya perlu kehidupan yang lebih berwarna dan cerah, bagaimana pun watak manusianya.
Seperti di artikel tentang minimalisme yang saya tulis belum lama ini, mode minimalis sebenarnya sangat saya sukai karena rapi dan elegan. Namun sayang beberapa orang menyalahgunakannya sebagai karya instan karena begitu sederhana dan mudahnya.
Saya sendiri sebenarnya menyenangi kafe-kafe estetik yang minimalis, tetapi saya tidak ingin jika waktu liburan saya habiskan di sana. Sebab tentu saja, minimalisme hanya menawarkan sedikit untuk saya nikmati.
Begitu pun dengan videogame. Videogame dengan latar yang terlalu realistis akan menyebabkan depresi bagi sebagian gamer. Apalagi latar realistis tersebut kebanyakan berlokasi di tempat gelap atau terabaikan. Maka dari itu tidak heran banyak gamer hari ini yang saling bergontok-gontokkan seakan mereka tidak berbahagia bermain game.
Mengapa orang-orang banyak yang senang mengungkit-ungkit masa lalu sebagai sumber nostalgia? Sebab di masa lalu, kreativitas orang lain masih bervariasi dan membahagiakan, belum terkekang dengan peraturan yang sebenarnya hanya rekomendasi, tidak wajib.
Ada yang bilang, “Televisi dahulu hanya hitam putih namun kehidupan manusianya begitu berwarna. Televisi sekarang penuh warna namun kehidupan manusianya menjadi hitam putih.”