Startup IT

Masih ingat istilah “unicorn” dan “decacorn” yang sempat heboh menggaung di tahun-tahun sebelum pandemi?

Perusahaan rintisan atau startup yang berhasil mendapatkan nilai aset minimal satu miliar dolar AS, itulah unicorn. Decacorn jika minimal 10 miliarnya.

Kemana sekarang istilah yang dahulu pernah dengan bangganya mengudara tersebut?

Para pembaca yang Anandastoon cintai, sekarang lihatlah bagaimana bias ini telah menjadi sesuatu yang cukup menakutkan.

Bias ini selayaknya fatamorgana, yang menunjukkan bahwa sebuah tren terlihat seolah begitu menggiurkan. Padahal sebenarnya di belakang layar, pelaku tren tersebut sedang berdarah-darah mempertahankan bisnis mereka.

Saya pernah singgung hal ini di artikel saya jauh-jauh hari sebelum pandemi Covid. Hari ini, semuanya mulai terlihat di depan mata. Sebenarnya kalau kita mengasah kepekaan kita, sudah dari 2022 telah jelas tanda-tandanya.

Apakah kiamat startup atau perusahaan rintisan IT sudah di ambang penglihatan?


Tanda yang sering luput

Banyak orang, terkhusus di Indonesia yang seringkali kehilangan arah dan tujuan hidup di dunia. Apalagi dengan orang yang kerap menghabiskan waktu di jejaring sosial, mereka banyak yang menjadi sasaran empuk para pegiat tren.

Para pegiat tren itu seperti predator yang tersebar di jagat maya, melancarkan serangannya dengan memengaruhi target agar dapat terbius dengan agenda mereka.

Atau dalam kata lain, para pegiat tren yang jago memengaruhi itu kita sebut dengan “Influencer”.

Apakah ini buruk? Sebenarnya, tidak selalu.

Tetapi yang namanya orang sudah kehilangan arah, mereka sudah pasrah mengikuti siapa pun yang mereka anggap bisa membuat hidup mereka lebih baik.

Masalah influencer tersebut sejalan dengan akal sehat mereka atau tidak, seakan itu adalah urusan yang paling ujung. Dan banyak dari kita yang tidak pernah bisa belajar dari sana.

Kita putar waktu ke 2016 di mana itu adalah masa-masanya Youtuber menjadi pekerjaan yang begitu menggiurkan.

Saya ingat hampir setiap saya buka postingan atau artikel di internet, banyak sekali yang memuat penghasilan para Youtuber tersebut.

Saya bahkan benar-benar mendengar banyak pegawai yang sudah nyaman di pekerjaannya, justru memilih resign dan membanting stir menjadi Youtuber.

Pada akhirnya? Permintaan iklan menjadi begitu banyak sedangkan penyedia iklannya tidak bertambah secara signifikan. Semakin hari, pendapatan Youtuber semakin anjlok karena sudah begitu sesaknya orang-orang yang beralih menjadi Youtuber.

Saya pernah baca sebuah artikel berbahasa Inggris, tidak saya bookmark, yang bilang bahwa sekitar 97% Youtuber hidup di bawah garis kemiskinan.

Tetapi sayangnya banyak dari kita yang tidak pernah belajar dari sana.

Selang satu tahun, muncul berita heboh kalau mereka yang jadi mitra ojek online bisa berpenghasilan fantastis bahkan hingga ada dari manajer dan sarjana pun berbondong-bondong menjadi tukang ojek.


Sudah sekarat?

Bayangkan, pernah ada masa seorang sarjana dan manajer beralih menjadi tukang ojek. Saya tidak peduli sebutannya driver online atau entah, mereka tetap tukang ojek.

Kita tidak sedang membahas pekerjaan “yang penting halal”. Kita sedang membahas orang yang sudah menghabiskan dana yang banyak dan waktu yang lama untuk menempuh pendidikan, justru beralih ke pekerjaan yang hampir semua orang mampu.

Padahal, di Indonesia sendiri masih membutuhkan pembukaan lapangan kerja dan orang yang mengaturnya yakni manajer. Namun bagaimana jika manajernya itu sendiri justru rela ‘dimarketingkan’ menjadi tukang ojek?

Sekarang bagaimana nasib para tukang ojek daring tersebut hari ini? Saya mengangguk, kita semua sudah paham.

Padahal SDM yang berkualitas bisa membuat negara maju dan lebih mudah dalam mencari pemimpin yang baik. Tetapi banyak warganya yang justru lebih memilih drama daripada prestasi kerja.

Begitu pun dengan restoran atau kafe yang bak jamur di musim hujan. Hanya bertahan sebentar, kemudian tutup, sisanya sebagian harus bertahan dengan gaji barista dan pelayannya yang mungkin kurang dari UMR.

Kebanyakannya hanya korban tren.

Kalau kita lihat, ternyata banyak perusahaan yang dulunya digadang-gadang sebagai unicorn tersebut justru masih dalam kondisi rugi hingga kini. Saham mereka beberapa ada yang anjlok, PHK membludak.

Jika masih ada yang bertahan, berapa persen? Bagaimana proses bertahannya?

Sisanya, hampir 90% perusahaan startup IT tersebut tutup tak membekas. Yang saya dengar dulunya, sebagian perusahaan tersebut dalam masa kejayaan mereka hingga berlebihan menggaji fresh graduate dengan gaji dua digit.

Apakah ‘tragedi’ seperti ini akan masuk ke dalam materi pelajaran sejarah anak sekolah?


Puing yang tersisa

Banyaknya perusahaan rintisan IT yang hancur luluh menyisakan puing-puing yang cukup merepotkan untuk kita bersihkan.

Saya pernah mencoba mempekerjakan beberapa orang yang pernah hidup di dalam keglamoran perusahaan startup tersebut.

Hasilnya? Mereka ingin gaji besar meski kemampuan mereka masih sangat mentah. Saya tidak bisa mempekerjakan mereka. Padahal saya dan tim telah mencoba memberinya gaji wajar hingga di atas UMR, tetapi dia ternyata masih belum bisa lepas dari nikmatnya masa-masanya dimanjakan oleh gaji besar perusahaan rintisan yang sudah tutup itu.

Sekarang, ingin kemana orang-orang yang menganggur tersebut? Pengusaha sudah semakin berkurang, bahkan beberapanya lebih memilih mengambil SDM dari negara lain yang bersedia mendapatkan bayaran wajar dengan kemampuan kerja yang dapat dipercaya.

Apalagi kini, salah satu tampungan para pengangguran adalah menjadi tukang ojek dari perusahaan ojek online yang masih bertahan. Akibatnya, penghasilan ojek daring tersebut menjadi lebih terbagi dari jumlah pelanggan yang tidak bertambah.

Para pengemudi ojol pun tidak memiliki pilihan lain. Tidak akan ada gunanya mereka berdemo besar-besaran karena bagaimana pun posisi mereka adalah pekerja informal. Mereka sendiri mungkin tidak akan sanggup jika sistemnya menjadi pekerja formal.

Dampaknya, tak sedikit yang merasakan, termasuk saya sendiri, di jalanan akhirnya banyak dipenuhi oleh para tukang ojek daring yang tidak senang dengan pekerjaannya. Pelayanan menurun, jalanan pun menjadi semrawut, pengguna jalan lain menjadi resah sebab pengemudi ojol yang semakin marak ugal-ugalan.

Seolah tinggal menunggu perusahaan ojek daring tersebut tumbang saja.


Bunuh diri ke dalam jurang

Kita yang lebih cerdas, seharusnya bisa menelaah bagaimana sebuah perusahaan bisa bertahan atau sustain lewat produk mereka atau lewat bagaimana mereka menggaet pelanggan.

Sayangnya, banyak perusahaan rintisan yang menyediakan solusi yang mana orang lain tidak terlalu membutuhkannya.

Dahulu ada perusahaan startup IT yang bergerak di bidang peternakan ikan lele.

Mereka menyediakan alat ‘canggih’, yang bisa memberikan makan ikan lele di jam yang telah ditentukan oleh para peternak. Produknya hanya itu.

Fitur sampingannya? Edukasi kepada para peternak. Sudah.

Alhasil, para peternak merasa tidak begitu memerlukan produk tersebut. Daripada mereka berlangganan membayar alatnya, lebih baik mereka sendiri yang memberi makan.

Atau yang paling familiar adalah perusahaan rintisan yang bertahan lewat promo dan diskon. Masa-masa membakar uang harus ada dalam kamus perusahaan supaya dapat mengambil hati pelanggan.

Saya termasuk salah satu ‘korban’nya. Sejujurnya, fitur potongan harga tersebut secara ironi membuat saya lebih boros.

Di awal 2024, saya pada akhirnya berhasil meng-uninstall hampir seluruh aplikasi ojol, dompet digital, dan toko online. Ternyata saya tidak kehilangan apa pun yang dulunya saya memiliki kebergantungan kepada aplikasi itu semua.

Pembayaran lewat QR, bisa saya lakukan di mobile banking tanpa harus repot-repot topup. Tanpa ojol, saya memilih Transjakarta atau taksi. Saya ingat dahulu saya bisa bertahan sebelum ada ojol dan saya merasa lebih sehat karena lebih banyak bergerak.

Sebaiknya agar tidak menormalisasikan drama dari para ojol tersebut. Justru kita harus menormalisasi penyuluhan agar banyaknya pengusaha dan pekerja formal.

Kabar mengenai daya beli masyarakat yang kian menurun pun semakin memperparah keadaan. Banyak restoran dan jasa yang menyebarluaskan pesan promo spesial mereka, sehari bisa sampai lima kali hanya agar bisa menarik pelanggan yang sudah lebih memilih ‘turun kasta’.

Lalu kita sempat mendengar istilah industri 4.0 yang lebih fokus kepada kolaborasi antarbisnis. Permasalahannya adalah, apakah yakin kolaborasi tersebut benar-benar menguntungkan kedua belah pihak? Atau salah satunya justru tidak membutuhkannya?


Solusi yang mungkin?

Kita sebaiknya jangan langsung menyalahkan pemerintah akan fenomena ini. Maksudnya, pemerintah pun memiliki andil, saya mengerti.

Namun, saat kita berbicara mengenai lapangan kerja, artinya dari masyarakat itu sendiri juga wajib terlibat di dalamnya.

Sekarang sekali pun pengusahanya berlimpah, bagaimana mereka akan bertahan jika para pekerja atau SDMnya berkualitas rendah?

Saya lampirkan sebuah gambar layar.

Startup IT

Suka atau tidak suka, beginilah keadaan masyarakat kita sekarang. Tidak ada yang dapat kita salahkan selain diri kita sendiri terlebih dahulu.

Tidak perlu menghibur diri sendiri dengan jargon “orang Indonesia sebenarnya pintar-pintar”. Bukankah fakta sudah sering menyapa kita lewat media sosial? Jangan karena satu atau dua anak bangsa berprestasi lalu kita generalisir seluruhnya.

Jika SDM kita sudah berkualitas, negara bisa maju, koruptor bisa berkurang dengan sendirinya.

Di negara yang rata-rata IQ masyarakatnya sudah tinggi, para koruptor berkurang drastis dan mudah mencari pemerintah yang peduli rakyatnya.

Perusahaan startup IT yang saya bangun bersama tim, alhamdulillah masih bisa bertahan karena kami berjualan lewat efisiensi, bukan lewat kegiatan membakar uang atau sesuatu yang hanya berdasarkan gengsi semata.

Setiap hari saya memikirkan fitur yang dapat mempersingkat dan mempermudah pekerjaan pelanggan, jadi mereka memang benar-benar terbantu.

Bahkan yang membuat kami terharu, beberapa pelanggan lebih menempel kepada produk kami daripada perusahaannya sendiri.

Menjauhlah menjadi latah dengan setiap tren yang ada. Sepertinya sudah seringkali kita mendengar jika kita lebih baik fokus terhadap identitas kita terlebih dahulu, namun sangat sedikit yang mau mendengarkan.

Perusahaan harus berdiri untuk menyediakan solusi, bukan sekadar membuat persaingan penuh sesak atas nama tren yang membara pada saat itu.

Suka
Komentar
pos ke FB
pos ke X
🤗 Selesai! 🤗
Punya uneg-uneg atau saran artikel untuk Anandastoon?
Yuk isi formulir berikut. Gak sampe 5 menit kok ~

  • Sebelumnya
    Saya Uninstall Aplikasi Ojol dan Saya Lebih Bahagia

    Berikutnya
    Tips Lebih Bahagia 44: Berburu Magic


  • 0 Jejak Manis yang Ditinggalkan

    Minta Komentarnya Dong...

    Silakan tulis komentar kalian di sini, yang ada bintangnya wajib diisi ya...
    Dan jangan khawatir, email kalian tetap dirahasiakan. 😉

    Kembali
    Ke Atas