Bela AgamaSaya masih ingat betul sewaktu saya ikut demonstrasi karena adanya oknum pemerintah non-muslim yang secara langsung dan tidak langsung menghina kitab suci saya, Al-Qur’an, apa pun konteksnya yang dia bicarakan.

Saya hadir untuk membela agama saya, tidak kurang dan tidak lebih, hingga akhirnya yang bersangkutan menjalani proses hukum. Sebenarnya saya hanya cukup tersangka memohon maaf dan tidak akan pernah mengulangi kesalahannya lagi dengan menyinggung-nyinggung sesuatu yang memang bukan dalam lingkup pengetahuannya.

Islam adalah agama pemaaf, apalagi jika kesejukan hati para pemeluknya dapat menjadi ‘marketing’ orang-orang non-muslim menjadi masuk Islam karena adanya sebuah ketertarikan tersendiri. Tidak perlu berkoar-koar begini dan begitu serta khawatir diinjak-injak oleh musuh karena propaganda negatif yang hanya tersulut dari emosi.

Oknum pemerintah tersebut kini sudah menjalani hukuman yang telah ditetapkan oleh pengadilan. Dalam konteks ini, urusan saya sudah selesai.


  • Polemik berlanjut

Saya agak kaget melihat kasusnya terus berlangsung bahkan hingga pemilihan presiden berikutnya, yang kemudian melabeli solidaritasnya dengan nama khusus dan ditempeli dengan gelar alumni.

Ketika saya diajak untuk memperingati satu tahunnya pun saya menolak untuk hadir. Saya hanya merasa, saya memiliki kegiatan yang jauh lebih bermanfaat pada saat itu.

Namun ada satu yang saya cukup mengernyitkan dahi, banyak polemik dari kasus penistaan tersebut tercipta di kemudian hari bahkan dari hal yang mungkin paling tidak berhubungan sekali pun. Bermula dari perihal pembelaan agama, menjadi sesuatu yang mengarah ke pembelaan yang saya tidak tahu pasti.

Mengapa saya sebut demikian?

Negara yang katanya memiliki persatuan yang kokoh nyatanya dapat terpecah sempurna ke dalam dua kubu, di mana kita semua paham kubu mana saja itu. Masing-masing memiliki argumennya sendiri, merasa paling benar, mempertaruhkan agama mereka masing-masing seakan-akan mereka sedang berjihad di medan perang.

Ulama diperebutkan. Kubu yang ini, mengangkat seorang presiden berdasarkan ijtimak ulama. Kubu yang lainnya, mengangkat ulama sebagai wakilnya.

Masing-masing bersikukuh karena mereka hanya mau membaca berita yang menyangkut kebaikan calon pilihan mereka saja, baik 01 maupun 02. Tidak bisakah saya melihat alasan yang bijak tanpa disertai dengan berjualan kompor?


  • Cermin yang terbelah

Saya bahkan cukup terkejut semenjak itu di masjid tepat di depan indekos saya sempat diadakan majlis yang saya tidak tahu apa itu, mengundang orang-orang yang disebut-sebut sebagai kiai dan habib sebagai pembawa taushiyah, namun justru berkata kasar di masjid, mereka benar-benar menghina seseorang dan bukan dalam memberikan perumpamaan dengan sebutan anjing atau monyet.

Di. Dalam. M a s j i d.

Perlu diketahui, ada beberapa non-muslim yang menjadi tetangga saya pada waktu itu, yang pastinya mau tidak mau terdengar caci maki yang berasal dari masjid.

Bahkan saya memang sedari awal tidak ada niat untuk menghadiri majlis-majlis yang menggiring banyak masyarakat dari penjuru-penjuru daerah tersebut di masa kampanye. Sudah dapat ditebak, saya tidak mendapatkan siraman rohani sedikit pun, berbeda jika saya menghadiri taushiyah terjadwal seperti taushiyah ba’da shubuh atau sebagainya.

Tak jarang, mereka benar-benar menyebut angka sebagai pilihan salah satu pasangan calon presiden di dalam masjid, memaksa hadirin yang hadir untuk memilihnya, bahkan sebelum waktunya kampanye, seingat saya.

Mereka kemudian berdalih, “Ah, kubu mereka juga gitu kok…”

Jadi apakah mau disamakan? Masing-masing kubu pun mengklaim kubu mereka adalah orang-orang yang paling waras. Namun yang saya temukan justru mereka memiliki sifat keras kepala yang belum pernah saya temui sebelumnya. Ditambah, mereka menghina ciptaan Allah satu sama lain, padahal,

“Dosa akibat perkataan dua orang yang saling memaki menjadi tanggungan orang yang memulainya, sampai orang dizalimi melewati batas”. (HR. Muslim)

Dari Abdullah ia berkata, “Mencela/menghina seorang muslim adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kekafiran.” (HR. Al-Bukhari & Muslim. An-Nasa-i no. 4036)

Ibrahim An Nakha’i rahimahullah mengatakan:

“Mereka (para tabi’in) dahulu mengatakan, jika seseorang mencela orang lain dengan perkataan ‘wahai keledai’, ‘wahai anjing’, ‘wahai babi’, maka kelak Allah akan bertanya kepadanya di hari kiamat: ‘apakah engkau melihat Aku menciptakan (dia) sebagai anjing atau keledai atau babi?’” (diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf 5/238)

Cebong, kampret, cebong, kampret. Mereka semua sama saja. Bahkan dari yang katanya mengaku lebih waras dan lebih agamis sekali pun.


  • Arah membelanya kemana?

Sudah beberapa kali saya lihat, banyak orang komplain mengenai gubernur yang gubernur sebelumnya ditahan karena kasus penistaan tersebut, karena kinerjanya yang memang saya konfirmasi tidak lebih baik dan sedang pantas untuk dikritik, justru langsung dituduh ‘cebong’ oleh orang yang foto profilnya agamis. Dan padahal, si pemberi kritik bahasanya ditujukan untuk melapor, bukan merendahkan.

Kejadian ini tidak hanya berlangsung sekali dua kali.

Sebegitu parahnya kah pembelaan mereka itu? Yang sekarang mereka bela, agama atau manusia?

Saya tetap mengkritik dan melapor siapa pun pemerintahnya jika memang kinerjanya memang merosot, karena memang saya insyaAllah membela agama saya. Saya bahkan secara langsung tidak pernah berkata ‘cebong’ dan ‘kampret’ kepada lawan bicara saya dan mungkin saya tidak pernah berkata demikian kepada lawan kubu saya.

Semakin saya sayang kepada seseorang, semakin sering saya puji dan bahkan saya kritik, dan bahkan saya kritik, dan bahkan saya kritik. Karena saya ingin dia menjadi lebih baik.

Saya hanya elus dada melihat orang-orang begitu gigihnya memasang badan kepada orang yang mereka bela, yang belum tentu bermanfaat bagi mereka sedikit pun selain daripada andai-andai dan janji manis, membela kesalahannya, memaki dengan bahasa kotor lawannya, tidak peduli mengenai atribut agama yang mereka kenakan.

Padahal katanya mereka bersama ulama.

Padahal katanya? Benar, meskipun katanya mereka bersama ulama, meskipun katanya mereka menjunjung tinggi Islam.

Saya sendiri walaupun saya muslim, tetapi saya tidak melihat di mana sisi rahmatan lil’alamin mereka. Serius. Mereka menyamakan akhlak mereka dengan lawan bicaranya, yang jelas itu adalah extreme downgrade.


  • Opini berdasarkan fakta

Lalu bagaimana dengan saya sendiri? Banyak orang yang bahkan tidak tahu siapa yang saya pilih waktu pemilu 2019 kemarin. Bahkan saya sering menengahi kubu 01 dan kubu 02, menyadari apa yang salah, mengajak masing-masing untuk berbenah. Karena kecurangan apa pun yang mereka tuduhkan, biar Allah Ta’ala yang selesaikan. Ingat,

Orang-orang kafir itu membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka itu.
Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya.
(QS. Ali Imran: 54)

“Tapi kan kita harus berjihad untuk menghindari kecurangan!”

Benar, itu benar. Jika memang niatnya berjihad, pantaulah basis data online KPU dan perhatikan jika memang hasilnya ternyata tidak sesuai. Jangan khawatir, lembaga-lembaga kita sudah mulai transparan. Jadi jika menemukan kecurangan, harap segera dilaporkan, karena tidak menutup kemungkinan banyak anggota hitung suara yang melakukan kesalahan karena kelelahan dan kurang fokus disebabkan murni faktor manusia.

Kita hanya mencoba berbaik sangka. Yang penting teruslah memantau dan melapor. Sudah. Tidak ada persangkaan buruk, tidak ada sulut keributan. Semua selesai dengan aman dan damai.

Guru mengaji saya, yang sering membaca kitab-kitab agama, beliau begitu lembut menjawab ketika saya berdiskusi masalah polemik pemilihan presiden 2019 ini. Jawab beliau, “Siapa pun yang terpilih, semoga tidak ada perpecahan…”


  • Arah yang berantakan

Jika ada yang bertanya kepada saya, “Mengapa kamu terlihat tenang padahal negeri kita sedang berada dalam bahaya?”

Bahaya apa? Tenaga kerja asing yang merajalela? Pulau-pulau yang dijual? Isu komunis? Isu penistaan-penistaan lainnya? Masalah diktator dan arogansi?

Perlu diketahui, kebanyakan dari kita tidak mengerti apa-apa-mungkin termasuk saya juga-dalam menghadapi isu-isu tersebut. Kebanyakan hanya bersumber dari pesan berantai yang sumbernya bahkan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Setelah kita sadari, kebanyakan yang membuat keributan adalah berasal dari kita sendiri.

Tidakkah kita tahu bahwa memang negeri kita kekurangan SDM handal yang bisa membawa perubahan baik untuk perusahaan atau bahkan negara? Jangankan untuk bekerja lebih profesional, untuk melakukan hal ringan seperti sopan kepada pelanggan dan melakukan pekerjaan tepat waktu saja, atau baru jadi staf dengan gaji rendah saja, SDM kita sudah banyak yang mengeluh. Padahal mereka sendiri yang katanya mau sejahtera dan mendapat berkah kerja?

Kita sudah kekurangan staf yang profesional, ditambah lagi posisi manajer yang memang jarang bisa diisi oleh saudara senegeri. Tidak heran banyak perusahaan di kota-kota besar yang manajernya adalah orang asing. Hanya karena mereka gigih, memiliki komitmen, dan tepat waktu.

Saya ulangi, banyak perusahaan dalam negeri memilih tenaga kerja asing hanya karena mereka yang lebih gigih, memiliki komitmen, dan tepat waktu.

Saya bahkan tidak tahu jika yang ikut berdemo akan penistaan agama kemarin ada yang memiliki niat lain, seperti tidak sukanya kepada sang penguasa karena memberi beban lebih kepada karyawan dan petugasnya, padahal demi masyarakat juga.

Tidak perlu saya sediakan data, kalian dapat cari sendiri artikel tentang kurangnya SDM terampil di Indonesia via mesin-mesin pencari daring.


  • Jalan keluarnya?

Perhatikan ayat berikut,

Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.
(QS Al-A’raf: 96)

Itu sudah jelas kembali ke pribadi masyarakat itu sendiri masing-masing. Ingin pemimpin amanah? Perbaiki dulu kualitas rakyatnya karena memang sebagian besar pemimpin negeri ini berasal dari rakyat sesuai asas demokrasi. Mengapa menginginkan pemimpin yang mementingkan rakyatnya sementara kita sendiri masih senang memikirkan diri sendiri dan menganggap remeh masalah orang lain?

Kita masih senang dengan janji-janji yang tidak realistis di mana itu membuat masyarakat kita masih mudah ditipu oleh media. Kritislah.

Contohnya, jika ada pemimpin yang ingin memurahkan harga kebutuhan pokok, bertanyalah bagaimana caranya, bagaimana juga cara memakmurkan petani-petani agar tidak ada kesenjangan antara harga beli dan jual, juga bertanya bagaimana hal itu dapat menstabilkan anggaran negara tanpa ada ketimpangan biaya.

Apalagi jika ada janji manis seperti SIM seumur hidup, pajak kendaraan bermotor ‘kecil’ digratiskan, dan lain sebagainya. Saya bertanya, bagaimana mereka yang tidak punya kendaraan dan kesehariannya hanya mengandalkan kendaraan umum? Keberpihakan kah? Bagaimana cara menambal pemasukan negara jika memang hal itu terjadi? Bertanyalah, itu yang membuat kita menjadi cerdas.

Seandainya kita sayang dengan calon pemimpin kita, sekali lagi saya tegaskan, maka pendukungnya juga harus menjaga etika dan mulai peduli kepada sesama. Itu bisa jadi ‘marketing’ sendiri bagi masyarakat yang belum tahu harus memilih siapa. Buatlah masyarakat menjadi cerdas dengan wibawa yang kita miliki karena itu menjadi senjata untuk mencegah kesalahan dalam memilih pemimpin.

Masyarakat insyaAllah akan paham sendiri siapa yang harus dipilih tanpa harus ditakut-takuti dengan apa pun.

Jika Allah Ta’ala ridha dengan 01, maka 01 yang akan menang.

Jika Allah Ta’ala ridha dengan 02, maka 02 yang akan menang.

Sesimpel itu. Karena setelah itu kebanyakan kita pun akan kembali menjalani hari-hari seperti biasanya. Selesai.

Tetapi seandainya memang presiden terpilih nanti justru akan membawa mudarat bagi bangsa ini, itu artinya memang bangsa ini belum berbenah. Masih banyak pelanggaran-pelanggaran dengan berlindung di balik ucapan ‘rakyat kecil’ dan sebagainya. Masih banyak yang enggan mengkritik kinerja pemerintah yang buruk dan bahkan mencemooh orang-orang yang mengkritik pemerintah serta dengan jahatnya menuduh mereka sebagai oposisi.

Padahal mungkin saja pengkritik hanya ingin negara ini lebih baik lagi.

Perang kubu sepertinya tidak akan pernah usai, hingga masyarakatnya tidak berisik lagi. Atau bahkan kegaduhan ini dapat terus terjadi setiap pemilihan umum hingga datangnya hari kiamat?


—<(Wallaahu A’lam Bishshawaab)>—

Suka
Komentar
pos ke FB
pos ke X
🤗 Selesai! 🤗
Punya uneg-uneg atau saran artikel untuk Anandastoon?
Yuk isi formulir berikut. Gak sampe 5 menit kok ~

  • Sebelumnya
    Mengapa Banyak Negara Afrika yang Miskin?

    Berikutnya
    Media Sosial, Tren, dan Positif Palsu


  • 0 Jejak Manis yang Ditinggalkan

    Minta Komentarnya Dong...

    Silakan tulis komentar kalian di sini, yang ada bintangnya wajib diisi ya...
    Dan jangan khawatir, email kalian tetap dirahasiakan. 😉

    Kembali
    Ke Atas