Bakat

Apa bakat saya? Saya tidak tahu apa bakat saya. Apa saya tidak memiliki bakat seperti yang lain?

Beberapa orang yang saya tanya apa bakat mereka, kebanyakan cenderung menggeleng. Sama, saya juga pernah seperti itu. Saya pernah tidak mengetahui apa bakat saya.

Waktu itu saya juga pernah mendapat pertanyaan tentang apa bakat saya, dan saya panik. Saya akui jika saya tidak pernah memiliki sesuatu yang menonjol dengan orang-orang yang saya ketahui.

Bakat desain? Gambar saya jelek.

Bakat musik? Entah, saya tidak dapat memainkan instrumental.

Atau bakat menulis? Saya angkat bahu, bagaimana menurut kalian tulisan saya ini?

Suara saya dapat membangunkan macan tidur, jadi sudah pasti tidak bakat bernyanyi.

Lalu apa? Saya sendiri juga khawatir tentang itu.

Kini, saya sendiri sudah menjadi CTO, di perusahaan yang saya bangun dengan tim. Berarti apakah bakat saya adalah mengoding atau programming? FYI, kodingan saya masih berantakan.

Sampai akhirnya, saya sendiri tersadar akan suatu hal.


Bakat & Skill

Saya mulai tersadar saat sedang melihat-lihat jejaring sosial, tepatnya melihat postingan orang-orang yang ‘memamerkan’ karya-karya mereka. Di tengah rasa iri saya yang berkecamuk, saya terklik sesuatu.

Apa yang saya khawatirkan selama ini bukanlah masalah bakat, melainkan kemampuan atau skill.

Bakat dan kemampuan ternyata merupakan sesuatu yang jauh berbeda.

Bakat itu adalah kemampuan alamiah, sudah “default” dari saat kita lahir, atau dapat kita sebut sebagai anugrah. Dan itu memang seharusnya.

Seperti, meski sama-sama mangga, namun terbagi menjadi mangga arumanis, mangga golek, mangga madu, dan sebagainya.

Begitu juga dengan manusia, ada yang memang memiliki anugrah untuk menerjuni bidang eksak, atau menyenangi bidang seni, dan lain sebagainya. Jadi memang sudah menjadi takdir sesuai dengan porsi masing-masing yang seimbang.

Contoh lain, ada seseorang yang tidak senang bersosialisasi, ada yang tidak menyenangi makanan pedas, ada yang suaranya hanya dapat di area (range) yang rendah, dan semacamnya.

Jadi, bakat itu hanyalah biji tumbuhannya. Sedangkan untuk menumbuhkan tanamannya, harus dengan kemampuan atau skill.

Pada dasarnya manusia semuanya berbakat, namun yang membedakannya adalah kemampuan mereka.

Orang-orang sukses yang sering kita lihat di media sosial itu adalah orang yang memiliki kemampuan bagus, bukan orang yang sekedar berbakat.


Menumbuhkan bakat

Bagaimana saya dapat melatih kemampuan saya sedangkan saya tidak tahu bakat saya apa?

Sekarang saya tanya, apa yang kalian senangi sejak kecil?

Saya ingat dari kecil saya menyenangi mendesain level sebuah game. Jadi dulu ada beberapa game Nintendo yang mengizinkan pemainnya mendesain level sendiri. Nah, saya benar-benar mencintai kegiatan desain level tersebut.

Hingga akhirnya saya simpulkan, bakat saya adalah mendesain level.

Sampai SMA, saya ingin mendesain level game saya sendiri. Jadilah saya menelusuri Google tentang bagaimana saya dapat mendesain sebuah level game.

Kenyataan pahit menyebutkan bahwa saya harus juga belajar pemrograman yang mana itu membuat saya stres. Masalahnya saya tidak suka dengan kodingan.

Tetapi karena hasrat dan keinginan saya begitu tebal untuk mendesain level game, akhirnya dengan ‘terpaksa’ saya mempelajari cara membuat videogame dasar.

Hikmahnya, saya kemudian bekerja menjadi programmer setelah lulus SMA, dan kini saya menjadi CTO di perusahaan saya sendiri.

Kalian sebaiknya tidak perlu khawatir dengan bagaimana mengasah kemampuan kalian.

Sebab fungsi sebuah ambisi adalah ‘membantu’ mengimplementasi sebuah bakat.

Ada teman saya yang dari kecil senang memecahkan teka-teki, tidak heran ia begitu mudah dalam mempelajari bahasa pemrograman.

Teman saya lainnya dari kecil memang senang menggambar, jadi saat menggambar apa pun, tangannya menjadi lentur dengan sendirinya.


Kesimpulan

Untuk kalian yang belum tahu apa bakat kalian, sediakanlah waktu untuk menyendiri. Cobalah untuk mengingat kembali hal apa yang kalian senangi sejak kecil.

Misalnya, saat kalian tahu bahwa kalian senang bercerita dan orang lain mengakui pembawaan cerita kalian sangat baik, mungkin ada bibit bakat seperti penyiar atau penulis naskah.

Atau misalnya kalian dari kecil senang membersihkan kamar secara teratur dan kalian bahagia dengan itu, kalian bisa menjadi pengawas atau supervisor di bidang kebersihan.

Intinya, apa pun kegiatan positif yang kalian senangi, lanjutkanlah.

Masalahnya, hari ini banyak orang yang justru lebih memburu kegiatan yang ‘katanya’ dapat mendulang keuntungan yang tinggi. Akhirnya, orang-orang itu hanya ikut-ikutan, berganti-ganti kegiatan, dan kelelahan sendiri.

Berbeda dengan orang yang tetap melakukan perbaikan dengan kegiatan yang mereka gemari, meskipun hasilnya berjalan lamban, namun biasanya memang mereka lebih sukses daripada mereka yang hanya mendalami kegiatan karena memburu penghasilan yang wah.

Saat kalian terus melakukan improvisasi, di sanalah kalian sedang mengasah kemampuan kalian.

Suka
Komentar
pos ke FB
pos ke X
🤗 Selesai! 🤗
Ada masalah kesehatan mental? Bingung curhat ke mana?
Curhat ke Anandastoon aja! Mari, klik di sini. 💗

  • Sebelumnya
    Target Tahunan Tidak Tercapai? Mungkin Saatnya Ganti Metode

    Berikutnya
    Skill yang Paling Dicari di 2023


  • 0 Jejak Manis yang Ditinggalkan

    Minta Komentarnya Dong...

    Silakan tulis komentar kalian di sini, yang ada bintangnya wajib diisi ya...
    Dan jangan khawatir, email kalian tetap dirahasiakan. 😉

    Kembali
    Ke Atas