Akhir-akhir ini saya melihat di media sosial banyak sekali singgungan-singgungan Wahabi kembali menggaung. Postingan demi postingan tuduhan mengenai Wahabi kembali marak.
Saya yang terganggu, hanya berceletuk, “Ini apaan sih?!”
Di tengah berkecamuknya pembantaian keji Israel terhadap warga Palestina yang cukup menyayat hati, masih sempat-sempatnya ada kisruh kecil-kecilan yang tersulut di media sosial.
Entah mempermasalahkan Wasabi, Wahyudi, dan Wahwah yang lain. Saya sampai mempertanyakan orang-orang yang meributkan seperti itu apa tidak ada waktu yang lebih bermanfaat lagi?
Padahal ilmu-ilmu agama dan dunia yang baik dan bermanfaat begitu bertebaran di internet secara gratis. Namun orang-orang yang saya tidak paham apa kegiatan keseharian mereka justru mempermasalahkan sesuatu yang bukan urusan mereka.
Oh, apakah dengan menulis ini kemudian saya menjadi pengikut Wahabi? Akal sehat seseorang yang menentukannya.
Jika kita memang senang membahas aliran-aliran sesat atau menyimpang, lebih baik kita kuatkan dahulu dasarnya.
Tidak sedikit orang ikut membahas sesuatu hanya karena ingin meramaikan suasana saja, bukan dengan diskusi sehat yang sarat ilmu.
Ibaratnya ada seseorang yang menyelisihkan cara orang lain dalam menyelesaikan soal kalkulus padahal operasi penjumlahan saja dia masih terbata-bata.
Banyak pengetahuan agama yang paling dasar saja seperti shalat, puasa, dan rukun Islam lainnya masih banyak yang belum kita ketahui secara menyeluruh, namun beberapa dari kita sudah berani menuduh orang lain begini dan begitu.
Seringnya tuduhan yang dilontarkan seseorang ternyata tercermin pada dirinya sendiri.
Misalnya, saya pernah melihat ada orang yang menulis bahwa salah satu ciri pengikut Wahabi adalah mereka tidak akan pernah merasa kalau mereka adalah pengikut Wahabi.
Saya bisa saja kemudian menuduh si penulis sebagai pengikut Wahabi. Apabila si penulis membantah, artinya ia termasuk salah satu ciri pengikut Wahabi yang baru saja ia tulis.
Jika memang fundamental atau dasar pemahaman agama kita sudah kokoh, tak peduli sebanyak apa pun ajaran sesat yang masuk, kita tidak akan terpengaruh.
Selanjutnya, kita hanya cukup menekuni apa yang telah menjadi kewajiban kita baik kewajiban akhirat maupun dunia. Tidak perlu ada kekhawatiran berlebih untuk masalah eksternal seperti ini.
Belum lama saya menulis tentang bagaimana buruknya citra Islam di mata dunia hari ini. Imigran muslim yang datang ke negara-negara Eropa dan Jepang ternyata banyak yang membuat ulah di sana.
Para imigran muslim pun awalnya banyak yang meninggalkan negara mereka yang mayoritasnya sudah muslim karena ingin mencari tempat yang lebih baik. Tetapi, kenyataannya mereka hanya meresahkan para warga di negara yang lebih baik itu.
Kita bisa melihat bagaimana perilaku pengungsi Rohingya yang kerap berbuat ulah di negara yang telah sudi menampung mereka. Bahkan Malaysia dan Singapura sampai menutup pengungsian untuk mereka karena banyak dari mereka yang hanya membuat resah.
Orang-orang Swedia dan Perancis yang tadinya telah ‘berbaik hati’ menerima para imigran muslim, kini banyak yang menyesal karena tingkat kriminalitas melonjak tajam akibat para imigran tersebut.
Tetapi apa daya, saat orang-orang Swedia dan Perancis menyampaikan keluh kesah mereka akan perilaku negatif para imigran, mereka khawatir akan mendapatkan cap Islamofobia.
Sekarang umat Islam terutama di Indonesia justru mendapatkan ujian lain berupa penyebaran ketakutan akan pemahaman Wahabi ini.
Saya sendiri tidak ingin ikut dalam konflik permasalahan ajaran Wahabi atau ajaran-ajaran lain yang saya tidak paham dan tidak tertarik juga. Saya hanya ikut kajian fikih, tafsir, menuruti para ulama yang telah berlelah-lelah belajar ilmu agama siang malam, dan mencoba melakukan hal-hal bermanfaat minimal di lingkungan saya sendiri.
Banyak muslim yang membangga-banggakan pencapaian gemilang para ilmuwan muslim terdahulu. Al-Jabbar, Al-Khawarizmi, Ibnu Sina, dan banyak sekali.
Hanya saja, kenyataan berkata bahwa itu semua sudah masa lalu. Pertanyaannya justru bagaimana dengan muslim yang sekarang? Terkhusus diri kita sendiri, apa yang kita teladani dari kejayaan muslim-muslim zaman dulu?
Kalau kita lihat, banyak sekali negara-negara mayoritas muslim yang miskin dengan kriminalitas tinggi dan rawan terjadi perpecahan. Padahal di negara mereka tersedia masjid-masjid yang megah, masyarakatnya pun berbondong-bondong shalat berjamaah.
Tetapi sayangnya, banyak muslim yang merasa sudah shalih dan menjadikan agama sebagai tameng dari sifat negatif mereka.
Banyak muslim yang enggan bekerja keras dengan dalih “Rezeki sudah ada yang mengatur” namun mereka sendiri menuntut rezeki yang berlimpah dari orang lain.
Para muslim yang meresahkan tersebut pun tidak jarang menyerang orang kafir atau non-muslim yang kaya-raya dengan jerih payah sendiri.
Ada beberapa muslim yang menganggap orang kafir bisa mendapatkan kesuksesan karena Allah Ta’ala hanya memberi mereka di dunia saja dan tidak akan Allah beri di akhirat. Mereka lupa bahwa ada negara-negara mayoritas non-muslim yang juga miskin.
Intinya, saat seorang manusia tidak menyibukkan dirinya dengan kegiatan bermanfaat, maka ia akan mencari kesibukan dengan hal-hal yang mengganggu dan sarat mudharat.
Lucu, terkadang ada muslim yang mengaji alQuran saja masih banyak kekeliruan tajwid, namun sudah berani menuduh muslim lain begini dan begitu.
Bukannya mereka mencari guru mengaji atau guru agama yang kaya ilmu dan membahas intisari ilmu alQuran dan alHadits, mereka justru menikmati postingan-postingan aneh yang berbalut agama.
Apalagi jika seseorang ternyata sampai mudah mengafirkan sesama muslim lain padahal ia tidak memiliki hak untuk itu.
Hal inilah yang sudah diwanti-wanti oleh Baginda Nabi Muhammad saw.,
Barangsiapa memanggil dengan sebutan kafir atau musuh Allah padahal yang bersangkutan tidak demikian, maka tuduhan itu akan kembali kepada penuduh.
HR. Bukhari & Muslim
Kafir atau tidaknya seseorang, bukan urusan kita yang masih dalam tahap belajar dan mengeja-eja. Hanya para ulama tertentu atau mahkamah syariat yang memang sudah ahlilah yang berhak menentukan seseorang kafir atau tidak.
Apalagi yang kita kafirkan ternyata masih muslim, yang artinya masih terikat kalimat syahadat.
Begitu pun dengan tuduhan lain seperti bidah dan semacamnya. Bukan ranah kita untuk mengurusi hal yang seperti itu.
Karena jangankan ilmu agama, ilmu dunia pun masih banyak sekali orang-orang yang merasa paling tahu dan merasa lebih berhak memberi kesimpulan tanpa konsep.
Kita hanya wajib belajar dan bekerja. Kita, muslim yang bukan ulama hanya perlu berperilaku sebagaimana umat Islam yang hidup di zaman Rasulullah saw., yang mana mereka pun bekerja, berdagang, bertani, bertukang, dan lain sebagainya.
Umat Islam di zaman Rasulullah dapat menyeimbangkan kehidupan dunia dengan akhirat mereka, dan mereka termasuk umat-umat Islam terbaik. Segala permasalahan kehidupan, mereka kembalikan lagi kepada Allah dan RasulNya.
Bahkan jika tidak mereka temukan di alQuran dan Sunnah RasulNya, mereka dapat menggunakan akal sehat mereka sewajarnya untuk berfatwa seperti melakukan Ijma dan Qiyas.
Nabi saw., bertanya kembali, “Bagaimana jika tidak engkau temukan dalam kitab Allah?” “Saya akan putuskan dengan sunnah Rasulullah” jawab Muaz.
Rasulullah bertanya kembali, “jika tidak engkau dapatkan dalam sunnah Rasulullah dan tidak pula dalam Kitab Allah?” Muaz menjawab, “Saya akan berijtihad dengan pemikiran saya dan saya tidak akan berlebih-lebihan.”
Maka Rasulullah saw., menepuk dadanya seraya bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah menyamakan utusan dari utusan Allah sesuai dengan yang diridhai Rasulullah.”
HR. Abu Daud
Rasulullah saw., beliau tidak diutus untuk menyelisihi hal-hal aneh seperti ini. Seakan banyak muslim yang lupa bahwa Beliau diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia.
Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak.
HR. Al-Baihaqi
Sekarang bagaimana jika kita bayangkan raut ekspresi Beliau saw., melihat umat Islam hari ini yang gemar mengurusi konflik-konflik sepele yang sebenarnya dapat dengan mudah kita tepis.
Dahulu orang tua kita pernah mengajari kita agar tidak meladeni orang-orang yang menyebarkan hal-hal yang aneh sampai akhirnya mereka berhenti sendiri dari perbuatan itu.
Ajaran-ajaran sesat tidak akan mendapatkan tempat di hati orang-orang yang memiliki dasar ilmu yang kuat. Mereka juga menanamkan konsep keilmuan tersebut pada keluarga-keluarga mereka dan orang-orang yang mereka cintai.
Jadi, mengapa masih memusingkan ajaran-ajaran seperti Wahabi dan sebagainya saat banyak sekali kegiatan bermanfaat yang bisa kita lakukan?
Bukankah tujuan umat Islam itu adalah menjadi sebaik-baik manusia? Siapa yang tidak mau menjadi sebaik-baiknya manusia?
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain.”
HR. Ahmad
Namun naas, kegiatan korupsi ternyata masih marak terjadi di negara yang mayoritasnya muslim, yang mana para penguasanya dulu sebelum menjabat adalah rakyat yang senang melanggar dan berbuat korupsi juga.
Belum lagi, beberapa dari muslim masih terus sibuk dengan mengurusi perbedaan yang ulama saja tidak mempermasalahkannya.
Jangankan Wahabi, perdebatan jumlah rakaat tarawih saja masih terus berlanjut mungkin hingga mentari tiba-tiba sudah terbit dari barat.
*menghela nafas panjang…