Beberapa orang hanya berlindung di balik keagungan agama untuk menoleransi perbuatan negatif mereka. Mereka berpikir hanya dengan membaca ayat-ayat yang mungkin tidak berdasar akan membuat mereka mendapatkan kekuatan super daripada harus repot-repot berusaha secara manusiawi.
Sewaktu saya masih menjadi santri, saya sering mendengar beberapa teman-teman saya sesama santri bercerita tentang kesaktian ustadz dan ulama mereka.
Menurut teman-teman saya, para ustadz tersebut diagungkan karena memiliki ajian. Di antaranya memiliki ajian matahari karena dapat membakar kertas hanya dengan mempelototinya. Di antaranya ada yang dapat membakar pipi seseorang lewat tamparannya.
Pun beberapa yang saya temui hingga saat ini. Beberapa orang masih tertumpu kepada ‘keramat’ atau ‘karomah’nya orang-orang yang mereka sebut ulama.
Padahal ulama itu sendiri adalah kata jamak dari alim atau orang yang berilmu. Namun alih-alih kita menyerap ilmu agama dari para ulama tersebut, kita justru lebih mencari-cari apa kekuatan gaib yang dimiliki mereka.
Ketika saya berbicara tentang anjuran menuntut ilmu agama dengan manusiawi, artinya memang kita melihat seluruh manusia yang menyampaikan risalah agama adalah manusia normal. Termasuk para Nabi dan Rasul.
Mereka semua adalah manusia normal seperti kita, yang secara default tidak memiliki kekuatan supranatural apa pun.
Bahkan banyak dari para utusan yang terkena masalah kesehatan fisik dan mental. Mereka pun takut dan khawatir seperti kita, terlebih ada yang sampai ‘depresi’.
Bukankah melihat sisi manusiawi dari para Nabi dan Rasul itu membuat kita lebih mencintai mereka karena banyak dari kehidupan mereka yang ternyata relatable dengan kita?
Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, para Nabi dan Rasul tidak memiliki kekuatan apa pun sedari mereka lahir.
Nabi Ibrahim a.s., jangankan beliau dapat mendinginkan api, beliau saja pernah tidak tahu bagaimana Tuhan yang ingin beliau sembah. Semanusiawi itu.
Ketika malam telah gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: “Inilah Tuhanku”, tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: “Saya tidak suka kepada yang tenggelam”. Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: “Inilah Tuhanku”. Tetapi setelah bulan itu terbenam, dia berkata: “Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang yang sesat”. Kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, dia berkata: “Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar”. Maka tatkala matahari itu terbenam, dia berkata: “Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan”.
Al An’am: 76-78
Nabi Musa a.s., yang menurut riwayat adalah seseorang yang berbadan besar dan dapat membunuh orang hanya dalam sekali pukul, ternyata beliau memiliki rasa takut saat Allah Ta’ala menyuruh beliau menghadap Firaun, ayah tirinya sendiri, untuk menyampaikan kebenaran.
Nabi Musa a.s., meminta kepada Allah Ta’ala agar Dia bukan hanya memudahkan urusannya, namun juga membebaskannya dari kekakuan lidah agar beliau dapat lancar berdakwah.
Bahkan Nabi Musa a.s., hingga memohon kepada Allah agar menjadikan kerabatnya, yakni Nabi Harun a.s., sebagai partner atau rekannya dalam berdakwah menghadap Firaun. Kita bisa lihat di Surat Thaha dari ayat 25 sampai 35.
Di luar dugaan saya, ternyata junjungan kita Muhammad Rasulullah saw., ternyata pernah mengalami ‘depresi’ setelah beberapa lama tidak mendapatkan wahyu. Kaum Beliau menyangka Tuhan Beliau (Allah Ta’ala) sudah meninggalkan Beliau karena kekosongan wahyu tersebut.
Dalam sebuah riwayat Nabi Muhammad sampai hilir-mudik pulang pergi ke Gua Hira berharap ada wahyu[perlu rujukan].
Gangguan yang Beliau terima dari kaum Beliau sudah mengganggu kesehatan Beliau sampai tidak Qiyamullail satu atau dua malam.
Akhirnya Allah Ta’ala sendiri yang langsung menghibur Beliau dengan menyatakan bahwa Dia tidak marah dan tidak meninggalkan Beliau. Bukan hanya itu, Allah juga memberi kabar yang sangat menggembirakan kepada Beliau setelah itu.
Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada pula benci kepadamu. Dan sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang. Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karuniaNya kepadamu, lalu kamu menjadi puas.
Ad-Dhuha: 3-5
Sedari kecil, banyak dari muslim terkhusus saya sendiri yang mengenal Nabi dan Rasul lewat mukjizat yang mereka miliki. Itu membuat saya menganggap Nabi dan Rasul adalah manusia pilihan yang tidak biasa. Atau dalam arti, manusia super.
Padahal seluruh mukjizat itu adalah Allah yang berikan. Yang saya tegaskan di sini, bahwa Nabi dan Rasul tidak pernah tahu mereka akan mendapatkan mukjizat.
Nabi Ibrahim a.s., tidak tahu jika Allah Ta’ala akan mendinginkan api yang membakarnya. Nabi Musa a.s., tidak tahu jika Allah Ta’ala akan membelahkan lautan untuknya.
Sangat kita sayangkan jika beberapa muslim masih mengagungkan ulama bukan karena ilmunya, melainkan karomahnya. Mereka tidak mendapatkan ilmu agama dari para ulama tersebut melainkan sedikit. Padahal para ulama menghabiskan banyak waktu untuk belajar dan mendalami ilmu agama di saat kita mungkin tengah bermain atau bersantai.
Jika para Nabi dan Rasul saja tidak memiliki kekuatan supranatural secara default, apalagi yang ‘di bawah’nya.
Tetapi, bukan berarti karena kita tahu mereka hanyalah manusia biasa kemudian kita menggampangkan ajarannya.
Di satu sisi ada sebagian dari kita yang merendahkan para Nabi dan Rasul dengan menyamakannya manusia biasa seperti kita. Padahal meski sama-sama manusia biasa, para Nabi dan Rasul beserta para ulama, memiliki derajat yang sangat tinggi yang mungkin derajat kita tidak dapat menyusulnya.
Allah Ta’ala tidak memuji kekasihNya Rasulullah Muhammad saw. karena bentuk atau kekuatan fisik yang Beliau miliki. Allah Ta’ala memuji Beliau karena luhurnya akhlak beliau.
Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung.
Al-Qalam: 4
Akhlak, atau etika, adalah sesuatu yang dapat kita terapkan apa pun kegiatan kita. Baik kaya atau pun miskin, terhina atau terhormat, sakit atau lapang, tidak ada alasan kita untuk tidak memiliki tata krama.
Seperti yang kita ketahui, Allah Ta’ala hanya memandang hambaNya lewat taqwa semata, tidak peduli bagaimana kondisi kita pada saat itu karena kondisi kita pun Allah Ta’ala yang menetapkannya.
Karena akhlak atau budi pekerti yang luhur, kita insyaAllah bisa dikumpulkan dengan para Nabi dan Rasul, beserta orang-orang saleh di akhirat nanti. No superpower required.
Ada sebagian muslim yang ‘menyiksa’ diri mereka dalam melaksanakan syariat.
Misalnya dalam mendirikan shalat tahajud. Beberapa dari muslim memaksakan diri mereka untuk bangun di tengah rasa kantuknya yang luar biasa untuk melaksanakan shalat tahajud padahal mereka baru tidur beberapa jam karena larutnya jam tidur.
Padahal, mendirikan shalat dalam keadaan mengantuk berat tidaklah dianjurkan. Rasulullah saw., sendiri yang berpetuah,
“Ketika salah seorang diantara kamu mengantuk dalam shalat, maka tidurlah agar dia mengetahui apa yang dibacanya.”
HR. Bukhori
Saat ada yang memberitahu mereka mengenai cara Rasulullah saw., dapat terbangun untuk bertahajud, mereka berkilah, “Itu kan Nabi yang punya keistimewaan.”
Padahal, caranya Nabi saw., dalam ‘berhasil’ melaksanakan shalat tahajud juga manusiawi. Beliau tidur selepas isya, yang mana beliau sudah mendapatkan lima hingga enam jam hak tidur Beliau.
Apalagi jika ditambah tidur seperenam malam setelah shalat tahajud hingga subuh. Padahal itu sangat dicintai oleh Allah Ta’ala.
“Sesungguhnya sebaik-baik puasa di sisi Allah adalah puasa Daud dan sebaik-baik salat di sisi Allah adalah salatnya Nabi Daud. Beliau biasa tidur separuh malam dan salat di sepertiga malam terakhir dan tidur lagi di seperenamnya. Sedangkan beliau biasa berpuasa sehari dan berbuka di hari berikutnya.”
Muttafaq ‘Alaih
Masih banyak lagi contoh yang kerap terjadi di kalangan muslim itu sendiri yang menganggap semakin tersiksa dalam menaati syariat maka semakin bagus.
Saya tidak tahu siapa yang beranggapan atau mengajari hal itu pertama kali.
Seakan mereka tidak peduli jika Allah Ta’ala telah memudahkan agamaNya. Semuanya mudah dan tidak memberatkan. Begitu pun dengan syariat yang lain, termasuk syariat keduniaan.
Ingin kaya? Bekerjalah.
Ingin pintar? Belajarlah.
Simpel dan manusiawi. Tidak ada tambahan tips yang aneh-aneh di sini.
Saya sendiri tidak lagi shalat Dhuha dengan tujuan ingin mendapatkan tambahan rezeki. Saya shalat Dhuha karena ingin jadi hamba yang taat, bukan karena niat lain. Kalau sudah dekat dengan Allah, insyaAllah saya tidak memiliki kekhawatiran berlebih mengenai takdir dan masa depan saya. Semanusiawi itu.
Cukup menyedihkan ada orang-orang yang berusaha mengelak dari sunnatullah dengan berlindung di balik tameng syariat. Saya bahkan pernah membahas hal ini di artikel yang lain.
Beberapa orang bermalas-malasan dan hanya mengandalkan doa untuk mencari rezeki. Padahal Allah Ta’ala senang dengan hambaNya yang terampil lagi profesional (tidak bekerja dengan tanggung).
“Sesungguhnya Allah SWT mencintai seorang hamba yang apabila ia bekerja, dia menyempurnakan pekerjaannya.”
HR. Thabrani
Begitu pun dengan beberapa muslim yang langsung menghakimi seseorang yang terkena masalah kesehatan mental dengan menuduhnya kurang beribadah. Mereka tidak tahu bahwa Nabi dan Rasul terdahulu pun pernah terkena masalah kesehatan fisik dan mental.
Nabi Muhammad saw., saat mendapatkan curhat dari kaum Beliau, hampir tidak pernah sebatas menyarankan untuk sabar saja apalagi menggampangkan masalah mereka.
Di sisi lain, ada ganjaran yang sangat menggiurkan apabila kita dapat berhasil meringankan masalah orang lain meski hanya menjadi media pendengarannya atau sandarannya saja.
“Barang siapa melepaskan dari seorang muslim suatu kesulitan di dunia, Allah akan melepaskan kesulitan darinya pada hari kiamat. Dan Allah senantiasa menolong hambaNya selama ia (gemar) menolong saudaranya.”
HR. Muslim dari Abu Hurairah
Manusia adalah makhluk sosial yang harus berinteraksi satu sama lain. Tetapi seorang manusia gagal berkontribusi secara sosial saat ada orang yang karenanya menjadi minder dan merasa tidak aman.
Inilah pentingnya mendalami ilmu agama secara manusiawi, agar kita dapat lebih peka dengan masalah sekitar dan juga dapat menjalani syariat sepenuh hati.
Saat ada orang-orang yang mendalami ilmu agama lewat kekuatan super dari para pemegang risalah, jangan heran kita melihat mereka begitu full of themselves alias hanya mengedepankan ego diri mereka sendiri.
Padahal kekuatan super dari ulama panutan mereka bisa jadi berasal dari selain Allah?
Saya tidak peduli seberapa tinggi kekuatan karomah yang dimiliki oleh seorang ulama. Jika seorang ulama tidak dapat ‘mengenyangkan’ saya dengan ilmu agamanya, saya tidak akan meliriknya.
AlQuran memiliki lebih dari 6000 ayat. Di dalamnya memiliki sebab turun (asbabun nuzul) yang sangat menarik dan ternyata lebih relate dengan kehidupan kita sendiri yang bisa membuat hati kita meleleh saat mendalaminya.