Ada apa dengan tips kali ini? Kok judulnya redundan? Apakah Anandastoon sudah kehabisan ide tapi tetap memaksakan diri menulis tips bahagia lain?
Bukan, tentu saja.
Hari itu, saya sedang menggulir-gulir media sosial. Kemudian jari saya berhenti di postingan media Singapura yang membahas berita tentang seorang gadis yang membungkam hatersnya dengan jawaban yang simpel dan lembut.
Jadi di akun TikToknya, si gadis baru saja membeli tas merek lokal yang menurutnya mewah. Seseorang mengomentari, “Merek itu bukan barang mewah.”
Kemudian si gadis menjawab, “Saya berasal dari golongan yang mungkin tidak semampu kalian, maka dari itu saya berbahagia dapat membeli tas yang menurut saya mewah ini.”
Si gadis itu sendiri bukanlah orang ‘norak’, bukan orang yang kerap memamerkan setiap barang yang baru ia beli.
Saya yakin mungkin saat kita pertama kali memiliki barang yang bagi kita dahulu begitu tidak terjangkau harganya, ada momen di mana kita ‘mengumumkan’ kejadian tersebut di media sosial kita. Saya juga termasuk, meski sangat jarang.
Tetapi bukan itu yang ingin saya bahas.
Waktu itu di antara komentar-komentar netizen Singapura, saya menemukan sebuah pepatah yang sangat bagus, yang karenanya menjadikan saya menuliskan tips bahagia kali ini.
Pepatah tersebut adalah,
Ajarilah anakmu untuk menjadi bahagia, bukan untuk menjadi kaya. Agar mereka dapat memahami sebuah nilai, bukan hanya sebatas harga.
Saya langsung terklik dengan beberapa kali klikan tajam, langsung menghujam sanubari saya. Saya tidak tahu bahwa itu adalah salah satu pepatah yang bagi saya begitu dalam dan saya memang membutuhkannya.
Masalahnya, saya banyak sekali menyadari sesuatu yang sebelumnya tidak pernah saya sadari.
Langsung saja saya berikan contoh.
Saat saya sebutkan mengapa banyak dari kita atau orang tua kita yang mengagumi profesi seorang dokter, kira-kira apa jawabannya menurut kalian?
“Menjadi dokter itu bergengsi tinggi karena biasanya dokter adalah berasal dari golongan orang-orang berada dan memiliki mobil serta rumah yang mewah.”
Saya yakin itu yang terlintas di benak kita, setidaknya sebagian besar.
Jarang sekali bahkan hampir tidak pernah saya temukan orang yang ingin menjadi dokter, atau menyuruh anaknya menjadi dokter karena itu adalah profesi yang sangat dibutuhkan masyarakat.
Bahkan saya ingat waktu saya di pondok pesantren, ada mahfuzhat atau pepatah yang menyebutkan bahwa guru dan dokter adalah ‘salah dua’ pekerjaan yang sangat mulia.
Mulia karena manfaat yang mereka tebar kepada masyarakat begitu luar biasa. Dan manfaatnya benar-benar global, tak peduli siapa pun.
Bahkan kedua profesi tersebut dapat menyelamatkan waktu dan kondisi finansial seseorang dari serangan penyakit dan kebodohan.
Namun sekali lagi, sudah jarang saya temui, profesi dokter yang berlandaskan pengorbanan dan manfaat yang sangat besar di benak orang-orang.
Kebanyakan orang justru yang telah saya sebutkan, lebih menyebut pekerjaan dokter sebagai pekerjaan ‘bergengsi’ daripada pekerjaan yang memerlukan pengorbanan tinggi.
Nyatanya beberapa orang dokter yang saya pernah kenal, mereka mengeluh sebab gaji mereka tertahan beberapa bulan karena rumah sakit belum menerima kompensasi dari asuransi kesehatan dan BPJS.
Gaji para dokter tersebut jika saya rata-ratakan kembali ternyata hanya UMR atau di bawah itu, belum jadwal mereka yang sangat padat di tengah cekikan kondisi ekonomi mereka.
Akibatnya, keluhan finansial para dokter tersebut banyak yang sulit dicerna orang lain. Bahkan beberapa orang menuduh para dokter tersebut sebagai dokter yang miskin dan gagal mendapatkan ‘standar gengsi’ dari seorang dokter.
Itulah hal yang menyeramkan yang terjadi dari orang-orang yang hanya ‘mentok’ menilai sesuatu dari “harga” semata. Apalagi itu sudah sulit kita ubah karena watak tersebut menempel dan terus tumbuh.
Profesi lainnya juga sama. Saya ambil contoh PNS (Pegawai Negeri Sipil).
Banyak orang tua yang menginginkan anaknya jadi PNS karena pekerjaan itu sangat bergengsi dan sarat matΓ©ri.
Para orang tua sudah tidak peduli apakah saat anaknya menjadi PNS nanti akan bekerja untuk rakyat atau tidak. Mereka hanya peduli dengan gengsi dan gajinya semata.
Maka tidak heran penyakit korupsi sulit hilang dari negeri tercinta ini.
Belum lagi pekerjaan lain semisal Youtuber, desainer, bahkan hingga programmer.
Kebanyakan masyarakat hari ini hanya mengejar pekerjaan yang easy money dan berharap usaha yang sedikit. Itulah mengapa banyak produksi hari ini yang monoton, membosankan, dan minim kreativitas kecuali musiman.
Dampak yang lebih parah, persaingan semu dari masing-masing pemburu harta akan meningkat tajam dan peristiwa sikut-sikutan hingga hukum rimba akan semakin bermunculan.
Padahal di negara maju, seperti Jepang, Singapura, dan negara-negara Eropa, benar bahwa sebagian orang berorientasi kepada uang dan saya tidak permasalahkan.
Hanya saja, sebagian besar mereka sudah dapat menyeimbangkan dengan efisiensi dan pengorbanan yang tinggi, sehingga masyarakat memandang profesi seperti itu layak mendapatkan bayaran yang sesuai dengan pengorbanannya.
Lagi, orang yang mencurahkan cinta kepada pekerjaan dengan sepenuh hatinya, lelahnya akan menjadi sesuatu yang sangat membahagiakan di saat malam harinya. Coba deh.
Di Jepang, meskipun banyak orang yang berkata tingkat stres mereka sangat tinggi, namun mereka diberkahi dengan fasilitas pendukung yang sangat nyaman dan mudah. Mereka berbahagia untuk itu, serta bersemangat untuk terus bergotong-royong dalam kebaikan dan manfaat.
Senyuman orang setelah benar-benar lelah bekerja, akan lebih tulus daripada mereka yang kerap mengorupsi waktu kerja agar dapat duduk di sudut ruangan dan memilih untuk menggulir-gulir sosial media.
Inilah mengapa negara maju benar-benar minim koruptor. Karena mereka sudah benar-benar sudah cerdas baik pikiran mau pun hati mereka, tidak terjebak dengan prinsip yang hanya ‘mentok’ sampai harga semata.