Sore hari itu saya dan karyawan saya membuka Netflix untuk memilih film untuk ditonton bersama setelah jam pulang kerja. Beberapa minggu pertama kami menikmati setiap film yang ditawarkan, namun beberapa minggu berikutnya kami mulai kelelahan men-scroll setiap tawaran film karena kami rasa tidak ada lagi yang begitu menarik untuk ditonton.
Hingga salah seorang dari kami memiliki ide untuk menonton kembali film-film zaman dahulu yang di-remake atau di-reborn. Dan secara mengejutkan, hasil pencariannya membuahkan hasil yang begitu banyak. Tidak jarang kami menonton film yang judulnya diiringi oleh angka-angka yang berurutan.
Tidak terpaku hanya film, dunia permainan digital pun demikian. Salah seorang karyawan saya memiliki laptop gaming dan memiliki segudang permainan bergrafis AAA yang ia unduh langsung dari Steam.
Namun sayangnya, permainan tersebut kebanyakan merupakan permainan yang ‘sekali main langsung uninstall‘. Padahal permainan tersebut menawarkan ending yang bermacam-macam dari setiap aksi yang kita pilih, tetapi karyawan saya entah mengapa lebih memilih untuk menyaksikan lewat internet alternate ending tersebut.
Kembali ke zaman saya kecil dahulu, meskipun saya hanya memiliki satu pilihan permainan di konsol Nintendo jadul, entah mengapa saya selalu memainkan permainan tersebut lagi dan lagi hingga ibu saya bosan menyaksikan saya bermain permainan yang sama.
Ada apa ini? Mengapa terjadi hal yang seperti ini?
Masih ada kaitan dengan postingan berikut, saya mencoba mengembangkannya menjadi lebih spesifik.
Hingga hari ini, karya-karya jadul yang direborn atau diremake, masih memiliki fans yang cukup signifikan.
Bahkan tidak heran karya tersebut lebih laris terjual daripada karya fresh yang baru diterbitkan. Tidak jarang, karya-karya yang diremake seringkali melibatkan produser-produser profesional diluar produser aslinya.
Banyak yang lebih memilih meremake sebuah karya daripada pusing-pusing membuat karya orisinal mereka sendiri.
Hal ini telah menjadi fenomena unik tersendiri karena banyak dari produser yang berprinsip, daripada mereka berlelah-lelah membuat suatu karya orisinal yang memerlukan metode berpikir keras, yang kemungkinan ujung-ujungnya ide yang dihasilkan selama waktu yang tidak sebentar tersebut akan berbenturan dengan ide yang telah ada, lebih baik mereka membuat karya-karya yang dahulu pernah menjadi primadona versi mereka sendiri. Pena akhirnya dibaringkan kembali.
Saya ingat di akhir 2018, setelah hiatus atau tak terdengar kabar selama delapan tahun, akhirnya perusahaan Capcom merilis Mega Man 11 ke publik seharga Rp200-ribuan.
Sebagai penggemar permainan Mega Man, saya akhirnya meminta karyawan saya untuk mendownload permainan tersebut dengan akun Steamnya untuk saya mainkan, sedangkan saya adalah pemilik finansialnya.
Kabarnya, meski telah meninggalkan para fans selama satu windu, ternyata Mega Man 11 menjadi salah satu permainan yang laku keras pada saat itu.
Bahkan permainan Super Mario Bros. hingga saat ini masih terus diproduksi oleh pihak Nintendo demi memenuhi antusias fans yang sepertinya belum ada matinya. Di luar itu, industri animasi dan permusikan juga mendapatkan bagian serupa.
Pixar dan Disney hingga saat ini masih memiliki peminat yang membludak. Bahkan di industri permusikan, grup musik ABBA ditawarkan nilai fantastis sejumlah satu bilyun dolar hanya untuk kembali berkarya setelah 40 tahun berpisah.
Fantastis, mengagumkan, isn’t it?
Tidakkah kita memiliki pertanyaan mengapa banyak orang yang sebegitu inginnya karya-karya legendaris kembali terlahir dan selalu ada untuk kita? Padahal zaman sudah berubah jauh bahkan dari semenjak lima tahun lalu.
Perlu diingat, zaman dahulu belum ada internet, teknologi masih sangat terbatas. Para pegiat seni benar-benar memiliki waktu yang sangat maksimal untuk mereka berkarya sepenuh hati.
Bahkan sebuah karya masterpiece yang telah selesai mereka sajikan, para tim atau produsernya masih berpikir untuk terus melengkapi karya tersebut sebelum dirilis, hingga merevisi karya tersebut secara besar-besaran.
Tentu saja karena mereka sadar, apa yang telah dirilis ke ranah publik hampir mustahil untuk direvisi. Inilah mengapa kita seringkali menemukan earlier version atau versi awal sebuah karya jadul sebelum dapat kita konsumsi pada waktu itu.
Yang paling berkesan, beberapa kreator jadul benar-benar harus menikmati karyanya sendiri dahulu secara berulang-ulang dan memberikan prediksi apakah fansnya dapat melakukan hal yang sama seperti mereka.
Inilah yang dimaksud karya dari hati, bukan untuk industri. Mereka memutar cara bagaimana para penikmatnya dapat berulangkali menikmati karya mereka, jadi tidak sekali menikmati, kemudian tidak pernah lagi.
Kita sering mendengar bahwa banyak orang yang selalu menemukan kejutan saat memainkan permainan-permainan zaman dulu. Semakin sering dimainkan, semakin banyak kejutan yang mereka akan temukan. Kejutan di sini memang benar-benar kejutan, bukan sesuatu yang mudah ditebak seperti banyaknya bonus di area tersembunyi, dan lain sebagainya.
Begitu pun dengan karya film, animasi kartun, hingga musik. Kejutan-kejutan tersebut bahkan masih dapat ditemukan hingga hari ini, sesuatu yang kita bahkan tidak menyadarinya saat pertama kali kita menikmati karya tersebut. Kejutan tersebut bukan sekedar easter egg, bisa jadi sebuah dialog rahasia, hingga maksud detail dari sebuah akting atau lirik musik.
Saya sendiri masih sering menemukan ada melodi cantik di instrumen latar belakang beberapa lagu legendaris yang saya dengar dan mempertanyakan mengapa saya tidak menyadari itu sebelumnya meskipun saya sudah mendengarkannya setiap hari, siang dan malam.
Seringkali saya memperhatikan beberapa komentar di Youtube yang membongkar hal-hal ini, membuat saya semakin ketagihan menikmati suatu karya walau saya sudah mengonsumsinya setiap saat. Sebuah hal yang jarang saya temui pada karya-karya pada hari ini.
Hari ini sering kita temui para seniman yang begitu melejit saat awal-awal ia lahir ke permukaan, dan semakin memudar semakin ditelan hari.
Sedangkan pola seniman legendaris berbeda. Biasanya saat awal-awal karya mereka begitu buruk dan tidak begitu terkenal. ABBA, Disney, Mega Man, The Beatles, hingga Shinchan memiliki pola seperti ini.
Namun bukan berarti mereka tidak profesional saat awal-awal berkarya, mereka hanya mengikuti arus dan bersikap ‘normal’. Mereka tidak terpengaruh dengan apa pun yang dapat mengganggu identitas mereka dalam berkarya karena dari sini calon-calon fans mereka sudah mulai terlihat tumbuh.
Mereka hanya menambah fitur secara berkala dalam setiap karyanya. Jadi mereka tidak langsung terlihat bagus namun pola yang mereka gunakan hanya sebatas itu-itu saja karena hal itu dapat mengakibatkan karya mereka membuat para fans cepat bosan dan semakin ditinggalkan di saat mereka tengah asyik berkarya.
Mega Man, dari seri awal hingga seri yang ke-sebelas, masih tetap diminati fans karena yang mereka tunggu adalah pola yang unik dari setiap aspek permainan tersebut. Para pecinta Disney dan Pixar masih menunggu film animasi terbaru mereka karena para fans menanti sesuatu yang unik keluar dari karya mereka.
Sekarang tinggal para produser yang ingin bertahan mencari-cari karya-karya legendaris zaman dahulu yang sudah ditinggalkan oleh produsernya namun masih mendapatkan tempat di hati para fansnya, untuk mereka lahirkan kembali dengan versi mereka sendiri. Termasuk para musisi yang berlomba-lomba meng-cover lagu-lagu yang pada masanya pernah berjaya.
Daripada hari ini hampir segala sesuatunya memiliki pola yang sama dan semakin membosankan, apalagi yang ditunggu selain karya-karya remake dan reborn?