IQ Rendah

Judulnya agak ekstrem ya? Tapi saya punya alasan mengapa saya buat judul seekstrem ini, dan ini berhubungan dengan kondisi politik di negara-negara yang rata-rata IQ masyarakatnya di bawah 85.

Beberapa bulan lalu, di Twitter dan Facebook, saya lihat beberapa postingan yang mengangkat topik mengenai negara berIQ rendah. Salah satunya Indonesia.

Mereka mengait-kaitkan perilaku sebagian besar masyarakat kita yang masih terbelakang, gemar berbuat ulah seperti melanggar peraturan, dan rendahnya produktivitas SDM kita dengan fakta rata-rata IQ negara ini.

Kalau kita lihat carut-marutnya keadaan politik di negara ini, apakah itu ada hubungannya dengan rendahnya IQ masyarakatnya?

Saya jawab “Yes”, mengangguk dengan pasti.

IQ itu penting, dan tidak kalah pentingnya dengan EQ. Nyatanya orang-orang yang berkata bahwa EQ lebih penting dari IQ, tidak memiliki EQ yang baik juga selain dari penilaiannya sendiri.

Saya mau bincang lebih jauh, karena mungkin demi kebaikan kita juga.


Turut kepada standar

Orang yang benar-benar memiliki EQ yang tinggi, mereka dapat merendahkan ego mereka dan memahami standar yang telah ada.

Tetapi kebanyakan orang yang mengaku bahwa EQ lebih penting daripada IQ, mereka justru mendengarkan orang lain hanya untuk mereka lontarkan argumen kembali. Benar, mereka senang berbantah-bantahan karena mereka tidak memiliki standar selain ego masing-masing.

Agak ironi, banyak orang yang mengaku lebih memilih EQ daripada IQ tetapi enggan menurut dan memperbaiki diri.

Padahal kalau kita lihat, hampir semua negara yang memiliki IQ tinggi atau setidaknya di atas rata-rata seperti negara-negara Eropa, Asia Timur, bahkan Singapura, semuanya memiliki tingkat kriminal yang rendah, minim korupsi, hingga kuatnya mata uang mereka.

IQ dapat kita katakan sebagai kecerdasan. Bukan orang yang sekadar pintar menghafal atau banyak tahu.

Orang pintar sangat banyak kita temui. Sayangnya, orang cerdas yang pandai memecahkan masalah itulah yang jarang.

Orang pintar berwawasan luas, atau bisa melakukan sesuatu yang tidak setiap orang bisa, belum tentu berIQ tinggi. Nyatanya banyak orang yang berwawasan luas tetapi wawasannya hanya ia gunakan untuk mendebat orang lain.

Seperti yang saya ungkap di postingan sebelumnya, orang cerdas itu standarnya adalah kemampuan mereka dalam mencari masalah dan memecahkan dengan sebaik-baiknya solusi.

Apakah kenalan kita yang kita sebut-sebut sebagai orang pintar itu sudah kepada tahapan itu? Atau orang pintar yang kita maksud adalah mereka yang hanya pandai berdebat dan membuang-buang waktu saja?

Orang yang sudah dapat memecahkan permasalahan-permasalahan sosial yang rumit dapat menjadi aset bangsa lewat manfaat yang mereka tebar. Sayangnya mereka begitu sulit kita temukan di negara yang rata-rata IQ masyarakatnya rendah.


Contoh kecil

Kalau kita pernah ke Singapura, kita beberapa kali lihat trotoar yang memiliki atap yang menghubungkan pemukiman ke halte atau stasiun terdekat.

Apa alasan pemerintah sana ‘membuang-buang’ anggaran untuk membangun atap di trotoar-trotoar?

Ternyata filosofi di baliknya sangat sederhana. Tidak perlu memahami formula matematika atau fisika yang rumit, hanya perlu kepekaan otak dan hati.

Menurut dinas perhubungan Singapura (LTA), Singapura memiliki iklim tropis yang rawan panas dan hujan. Dengan membangun atap-atap trotoar itu, tingkat keterlambatan dan produktivitas masyarakat semakin meningkat karena mereka tidak lagi kepanasan dan kehujanan saat tiba ke sekolah atau tempat kerja.

Karena itulah, para murid yang tiba di sekolah dengan mood atau suasana hati yang baik, prestasi mereka akan mudah terukir sehingga mencetak banyak anak-anak bangsa berprestasi.

Dan karena itulah, para pegawai yang tiba di kantor dengan mood yang berseri, mereka akan lebih produktif dan membuat perusahaan lebih untung. Perusahaan yang lebih untung akan menyetor pajak lebih banyak kepada negara.

Kira-kira seperti itu. Simpel, namun sangat elegan. Sekali lagi, tidak melibatkan formula matematika yang rumit untuk bisa peka hingga sampai sedetail itu.

Tidakkah kita malu dengan solusi sederhana namun berdampak luar biasa tersebut?

Kita jangan bandingkan Singapura dengan Indonesia keseluruhan karena luas negaranya tidak sebanding. Tetapi bandingkanlah Singapura dengan provinsi, kota, atau kabupaten tempat kita tinggal.

Orang yang berIQ rendah pastinya tidak ingin mendapatkan perbandingan yang lebih baik. Ada saja alasan untuk menghindari dan enggan belajar untuk memperbaiki diri.

Naasnya, orang yang berIQ rendah justru senang sekali mencari-cari perbandingan yang lebih buruk supaya dapat membuktikan bahwa mereka masih lebih baik.

Contoh lain lagi, kembali ke Singapura. Setiap tiang lampu di Singapura memiliki nomor. Lagi, alasan penomoran tiang lampu tak kalah sederhananya.

Saat ada orang tersesat atau orang yang membutuhkan pertolongan segera, mereka dapat langsung menghubungi nomor darurat. Setelah itu, operator akan meminta untuk mencari tiang lampu terdekat dan memberitahu nomornya.

Selang beberapa menit, bantuan langsung tiba tepat di lokasi tersebut berkat nomor yang tertera di tiang lampu.

Tak heran, Singapura memiliki rata-rata IQ tertinggi di dunia, bersamaan dengan Jepang dan China. Sebuah negara miskin yang tidak memiliki sumber daya alam ternyata bisa menjadi yang paling makmur di dunia.


IQ rendah membahas politik?

Ada orang membaca berita mengenai seorang koruptor yang memohon-mohon agar dibebaskan karena ia memiliki keluarga.

Orang itu terus membahas kelakuan aneh koruptor yang memohon-mohon tersebut.

Saya menanggapi, “Ya udah bebasin aja, kesian dia punya anak istri.”

Lawan bicara saya merasa heran dengan jawaban saya yang sekilas membela si koruptor.

Saya lanjutkan, “Saya yakin dulu waktu pejabat itu masih menjadi rakyat atau pegawai kecil, kita selalu membela apa pun kesalahannya dengan drama dan rasa iba. Mengapa saat sudah menjadi koruptor tiba-tiba malah berhenti? Ayo dong, lanjutin rasa kasihannya.”

Saya rindu ucapan-ucapan orang-orang yang mengaku lebih memilih EQ daripada IQ sehingga terlihat seolah bijak membela perilaku rakyat atau pekerja kecil agar dapat kebal hukum.

“Udah, kesian. Dia punya anak istri.”

“Ngapain sih lapor-lapor… mutusin rezeki namanya itu tau.”

“Biarin aja, yang penting kita nggak kayak gitu.”

Kita sendiri yang menyuburkan sifat korup orang-orang seperti itu. Banyak dari kita yang lupa kalau watak itu terus tumbuh dan semakin kuat. Apalagi saat mendapatkan jabatan dan kuasa.

Mungkin inilah akibat terlalu mempahlawanisasi orang kecil. Yang jadi standar bukan lagi akhlak atau budi pekerti.

Maka dari itu tak heran ada beberapa pekerja yang bekerja semaunya, tidak disiplin, mencuri bahan baku, dan melakukan tindakan tercela secara leluasa karena mereka dapat dengan mudah mengeluarkan kartu as mereka sebagai pekerja atau rakyat kecil supaya mendapatkan simpati masyarakat.

Banyak pekerja-pekerja rajin yang pada akhirnya terkena imbas mendapatkan beban kerja yang lebih berat karena ulah pekerja-pekerja malas yang berlindung dibalik rasa iba masyarakat. Padahal pekerja-pekerja rajin itu semuanya juga rakyat kecil.

Saya pun pernah merasakan menjadi rakyat kecil bahkan jauh lebih kecil daripada orang-orang yang mengaku sebagai rakyat kecil. Tetapi saya mendapatkan didikan agar dapat berusaha mandiri dan tidak bergantung kepada orang lain.

Sejujurnya, saya pernah mendengar seseorang yang membela preman yang berbuat ulah dengan alasan kasihan dengan kondisi si preman. Untungnya, temannya langsung membantah itu dengan bilang, “Lah, lebih kasihan korban yang dia palak dong!”

Alhamdulillah, ternyata temannya itu masih berpikiran lebih terbuka. Itu saja sudah cukup baik karena ia sudah lelah dan terbebas dari cengkeraman drama dengan tidak membela si preman.

Pada suatu ketika, pernah ada yang mengobrol politik dengan saya, ia bilang, “Sekarang masyarakat udah pada cerdas.”

Saya menggeleng. Saya katakan bahwa, kalau masyarakat sudah cerdas maka negara ini sudah maju, sudah makmur. Koruptor berkurang drastis.

Mungkin maksudnya adalah masyarakat sudah lelah dengan drama yang ada. Jadi bukan cerdas, hanya lelah.


Mereka yang berIQ tinggi

Ada yang bilang juga, “Kenapa kok impor SDM dari luar? Emang nggak ada orang kita yang pinter?”

Saya langsung saja berkata, “Memang tidak ada. Jumlah mereka sangat sedikit. Sisanya hanya SDM yang senang membuang-buang waktu mereka di jam kerja untuk menggulir-gulir sosial media.”

Mari jujur, berapa jumlah orang cerdas yang kita kenal dengan sisanya? Berapa rasionya?

Saya pernah menemukan tweet seperti ini.

IQ Rendah

Miris memang, namun sekali lagi, turunkanlah ego kita dan terimalah kenyataannya dahulu.

Banyak anak-anak bangsa yang cerdas justru enggan berkarya di Indonesia. Alasan utamanya bukan hanya tidak dihargai pemerintah, tetapi juga tidak dihargai sesamanya.

Ada orang Indonesia yang berprestasi di negara luar yang maju. Saat pulang ke Indonesia, ia kaget mengenai kondisi negaranya yang berantakan. Alhasil ia kembali mengenang masa-masanya sewaktu di negara maju, bagaimana tertibnya, bagaimana disiplinnya.

Tapi respon apa yang ia dapat dari sesamanya? Bukannya dukungan melainkan usiran, “Yaudah tinggal di sana aja.”

Fine, akhirnya dia kembali ke negara maju tersebut dan mengabdi di sana. Produktivitasnya terjaga, kualitasnya bisa semakin lebih baik.

Kita telah mengetahui bahwa kehadiran pengusaha atau pembuka lapangan kerja kerap tidak dihargai oleh masyarakat. Berapa banyak postingan yang mempahlawanisasi para buruh atau pekerja kecil dan langsung memfitnah para pemberi kerja dengan tuduhan-tuduhan jahat.

Meski betul memang ada satu atau dua pengusaha yang tidak baik, tetapi kepada siapa lagi kita mencari kerja? Kecuali para pekerja kecil tersebut sudah bisa menggaji diri mereka sendiri. Cobalah menjadi pengusaha dahulu sebelum mengomentari pengusaha.

Sebagian pengusaha yang sering menerima banyak tuntutan, pada akhirnya mereka entah bangkrut dan memPHK ribuan karyawannya, atau lebih memilih mengimpor tenaga kerja dari luar yang lebih disiplin dan minim drama.

Jangan salahkan apabila akibatnya tingkat pengangguran semakin tinggi dan memicu tumbuhnya angka kriminalitas.


Buah yang jatuh tidak pernah jauh

Saya yang berkantor di daerah Kuningan Jakarta Selatan, seringkali mendengar unjuk rasa yang menyinggung korupsi dengan pengeras suara di depan gedung-gedung pemerintahan.

Mendengar itu saya hanya tersenyum kecut, sambil berkelakar kepada rekan kerja, “Ah, belum dapat jabatan saja orang-orang yang demo itu.”

Apalagi mereka berunjuk rasa sampai memblokir jalan umum dan menyusahkan orang di sekitarnya. Mereka-mereka itulah yang akan menjadi koruptor pada waktunya.

Jika memang seseorang menyatakan dirinya bersih dari korupsi, cukup buktikan dengan prestasi atau kinerja positifnya yang bermanfaat bagi orang-orang di sekitarnya.

Saya hanya khawatir orang-orang yang kerap mengomentari pemerintah itu pada dasarnya memang orang yang senang membicarakan orang lain. Jika suatu saat pemerintah sudah bersih, mereka mungkin tetap akan mencari topik untuk menggunjing orang lain.

Orang cerdas dan berIQ tinggi hanya memetakan kesalahan pemerintah, tanpa perlu drama yang sarat mencari perhatian atau simpati.

Padahal dulu mungkin guru kita berkali-kali menjelaskan bahwa Indonesia menganut demokrasi, yang artinya pemerintah kita berasal dari rakyat.

Benar, pemerintah kita berasal dari kita sendiri, bukan dari negara lain, apalagi alien. Apakah kita berusaha menghargai dengan menyimak guru-guru kita dahulu?

Kita cukup peka saja dengan masalah sosial sekitar. Sayangnya, masih banyak dari kita yang enggan merasakan permasalahan orang lain sebelum kita sendiri yang terkena permasalahan itu.

Beberapa dari kita masih merasa kalau kemudahan hanya membuat orang menjadi malas. Tetapi kita sendiri senang menyindir pemerintah yang gemar menyulitkan masyarakatnya.

Kita masih merasa aneh dengan orang yang dipenjara atau diteror karena melaporkan tindakan korupsi. Padahal kita sendiri pun sama, tidak ingin kinerja buruk kita dilaporkan orang lain juga.

Kita menyindir penegak hukum yang tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Meski kita sendiri pastinya lebih memilih menghukum mereka yang lebih lemah daripada menghukum teman kita sendiri walau porsi kesalahannya sama.

Atau kita suka mencela pemerintah yang membangun dinasti kekuasaan. Namun ada di antara kita yang masih mencari “orang dalam” sebagai jalan pintas dalam mengurusi urusan birokrasi kita.

Saat kita lebih memilih memperkuat solidaritas kita daripada orang lain yang lebih berhak, para koruptor pun sama.

Seluruh perilaku pemerintah yang kita singgung, sebagiannya ternyata adalah sifat kita sendiri. Namun karena banyak dari kita yang berego tinggi, jadi benarlah peribahasa yang menyebutkan bahwa kuman di seberang lautan pasti akan tampak, persetan dengan dinosaurus di depan wajah.


Jika perlu solusi

Sering saya temukan orang-orang yang akhirnya bertanya, “Terus solusinya apa?”

Dear, say, my beloved, orang-orang cerdas bisa saja memberikan solusi. Tapi ada dua hal yang perlu kita ingat.

  1. Memberikan solusi tidak bisa sembarangan. Memecahkan masalah perlu keahlian yang tidak main-main. Kita harus bisa peka dengan itu.
  2. Saat solusi sudah tercetuskan, apakah kita yakin akan merendahkan ego kita dan menurut? Atau kita tepis solusi tersebut yang telah muncul dengan susah payah?

Nyatanya banyak orang cerdas yang tidak kita hargai. Tetapi karena memang kita pada dasarnya senang membicarakan orang lain, akhirnya kita lebih memilih untuk menyalahkan pemerintah yang ternyata sifatnya hampir sama dengan kita.

Apakah tidak melelahkan memiliki kondisi politik yang tidak lebih baik dari tahun ke tahun?

Bisakah kita membuat pemerintah di periode berikutnya menjadi lebih baik?

Jawabannya ada pada diri kita sendiri. Marilah kita bersama-sama menjadi produktif agar meningkatkan human development index dan menguatkan kurs mata uang di negara tercinta kita sendiri.

Jangan lupa juga agar senantiasa memudahkan urusan orang lain karena itu yang kita harapkan dari pemerintah.

Terakhir, carilah orang-orang cerdas di sekitar kita yang pandai memecahkan masalah dan turutilah arahan mereka. Sebab kalau bukan mereka, siapa lagi?

Sudah itu saja dahulu, jadi ingin mulai kapan say? 😉

I love everyone of you. 🤗

Suka
Komentar
pos ke FB
pos ke X
🤗 Selesai! 🤗
Ada masalah kesehatan mental? Bingung curhat ke mana?
Curhat ke Anandastoon aja! Mari, klik di sini. 💗

  • Sebelumnya
    Tips Lebih Bahagia 42: Menghitung Kebaikan Diri

    Berikutnya
    Teknologi Membuat Kita Semakin Pintar atau Bodoh?


  • 0 Jejak Manis yang Ditinggalkan

    Minta Komentarnya Dong...

    Silakan tulis komentar kalian di sini, yang ada bintangnya wajib diisi ya...
    Dan jangan khawatir, email kalian tetap dirahasiakan. 😉

    Kembali
    Ke Atas

    Terima kasih telah membaca artikel Anandastoon!

    Apakah artikelnya mudah dimengerti?

    Mohon berikan bintang:

    Judul Rate

    Desk Rate

    Terima kasih telah membaca artikel Anandastoon!

    Dan terima kasih juga sudah berkontribusi menilai kemudahan bacaan Anandastoon!

    Ada saran lainnya untuk Anandastoon? Atau ingin request artikel juga boleh.

    Selamat datang di Polling Anandastoon.

    Kalian dapat iseng memberi polling seperti di Twitter, Facebook, atau Story Instagram. Pollingnya disediakan oleh Anandastoon.

    Kalian juga dapat melihat dan menikmati hasil polling-polling yang lain. 😊


    Memuat Galeri Poll...

    Sebentar ya, Anandastoon muat seluruh galeri pollnya dulu.
    Pastikan internetmu tetap terhubung. 😉

    Asik poll ditemukan!

    Silakan klik salah satu poll yang kamu suka untuk mulai polling!

    Galeri poll akan terus Anandastoon tambahkan secara berkala. 😉

    Judul Poll Galeri

    Memuat poll...

    Sebentar ya, Anandastoon memuat poll yang kamu pilih.
    Pastikan internetmu tetap terhubung. 😉

    Masih memuat ~

    Sebelum memulai poll,

    Anandastoon ingin memastikan bahwa kamu bukan robot.
    Mohon agar menjawab pertanyaan keamanan berikut dengan sepenuh hati.
    Poll yang 'janggal' berpotensi dihapus oleh Anandastoon.
    Sebab poll yang kamu isi mungkin akan bermanfaat bagi banyak orang. 🤗

    Apakah nama hari sebelum hari Kamis?

    Mohon jawab pertanyaan keamanan ini. Jika jawaban benar, kamu langsung menuju pollnya.

    Senin
    Rabu
    Jumat
    Sabtu

    Atau, sedang tidak ingin mengisi poll?

     

    Wah, poll telah selesai. 🤗

    Sebentar ya... poll kamu sedang di-submit.
    Pastikan internetmu terhubung agar dapat melihat hasilnya.

    Hasil poll 👇

    Menunggu ~

    Ups, sepertinya fitur ini masih dikembangkan Anandastoon

    Di sini nantinya Anandastoon akan menebak rekomendasi artikel yang kamu inginkan ~

    Heihei maihei para pembaca...

    Selesai membaca artikel Anandastoon? Mari, saya coba sarankan artikel lainnya. 🔮

     

    Ups, sepertinya fitur ini masih dikembangkan Anandastoon

    Di sini nantinya kamu bisa main game langsung di artikelnya.

    Permainan di Artikel

    Bermain dengan artikel yang baru saja kamu baca? 😱 Kek gimana tuh?
    Simpel kok, cuma cari kata dalam waktu yang ditentukan.

    Mempersiapkan game...

    Aturan Permainan

    1. Kamu akan diberikan sebuah kata.

    2. Kamu wajib mencari kata tersebut dalam artikel.

    3. Kata yang ditemukan harap diblok atau dipilih.
    Bisa dengan klik dua kali di laptop, atau di-tap dan tahan sampai kata terblok.

    4. Terus begitu sampai kuota habis. Biasanya jumlahnya 10 kuota.

    5. Kamu akan berhadapan dengan waktu yang terus berjalan.

    6. DILARANG Inspect Element, CTRL + F, atau find and replace. Juga DILARANG berpindah tab/windows.