Takut Bahagia

Kebahagiaan adalah hak setiap orang. Tetapi sayangnya, beberapa orang takut untuk terlalu bahagia, khawatir akan ada sesuatu yang buruk menerpa di setiap akhir kebahagiaannya.

Cherophobia, atau fobia bahagia, sebenarnya bukan takut untuk bahagia, melainkan ketakutan mengenai hal buruk yang terjadi setelah berbahagia.

Misalnya, saat kita terlalu banyak tertawa di hari itu, terkadang ada perasaan tidak enak yang seakan terus meneror batin kita. Ibaratnya kata teman saya dulu, “Biasanya kalau habis ketawa kayak gini suka ada aja yang bikin sedih.”

Faktanya, internet menjadi tempat pembuktian bahwa tidak sedikit orang yang memiliki ketakutan ini. Bahkan banyak meme-meme yang mendukung cherophobia secara tidak langsung.

Takut Bahagia

Ibu saya pun pernah sekilas berceletuk setelah kami bercanda dan tertawa bersama, mengutarakan ketakutan yang mengiringi selepas tertawa riang itu. Beliau khawatir akan terjadi hal yang tidak menyenangkan mengiringi setiap kegiatan yang sangat membahagiakan.

Belum lama saya melihat reels Instagram yang membahas hal ini dan saya baru tahu jika hal itu bernama “Cherophobia”.

Bagi saya ini sangat menarik karena saya adalah salah satu orang yang mungkin memiliki cherophobia ini. Mungkin… saya tidak tahu. Saya sering sekali berbahagia dan tidak memikirkan apa pun setelah itu.

Tapi saya tidak menyangkal mereka-mereka yang mengalami cherophobia dan saya akan mencoba bahas dari perspektif saya pribadi secara objektif.


Terlalu banyak tercecer

Bisa jadi, cherophobia ini adalah salah satu penyebab mengapa beberapa orang terlalu minder untuk melakukan perkumpulan. Mereka khawatir jika mereka terlalu berbahagia saat berkumpul, kejadian yang tidak menyenangkan akan menunggunya saat mereka pulang.

Kita mengetahui episode sedih dan bahagia akan terus silih berganti sepanjang jalan kehidupan. Yang kita inginkan adalah tetap berada di episode bahagia selama mungkin.

Prinsipnya seperti roda kehidupan yang terkadang di atas dan di bawah. Terlalu bahagia dapat memutar roda tersebut terlalu kencang hingga lebih cepat jatuh.

Saya mencoba menganalogikan contoh cherophobia ini dengan sebuah cerita.

Malam itu, kita mendapatkan perjamuan mewah dengan teman-teman satu angkatan yang sudah lama tidak bertemu. Kegiatan Reuni istilahnya.

Sepanjang malam itu, kita tertawa penuh dan sangat berbahagia ketika kembali dapat bercengkrama dengan orang-orang yang kita telah lama rindu. Mendengarkan celotehan mereka dan menatap kemewahan jamuan membuat kita betah berlama-lama.

Sayang, waktu tidak memiliki kompromi dan ada saat di mana perjamuan selesai dan masing-masing harus kembali pulang.

Menyadari hal itu, kita tiba-tiba mendapatkan serangan kekhawatiran (panic attack) seketika dan merasa takut untuk pulang, apalagi pulang sendirian. Dalam pikiran kita, bisa saja kita bertemu drama dari orang-orang yang tidak menyenangkan di jalanan.

Hal tersebut bukan hanya akan merusak kebahagiaan kita di hari itu, melainkan juga membuat kita berpikir dua kali jika akan menghadiri perjamuan serupa.

Kita takut sesuatu yang terlalu menyenangkan dapat menguras kuota kebahagiaan di hidup kita dan segera terisi kembali kuota tersebut dengan berbagai kesedihan dan hal-hal yang tidak menyenangkan.

Orang yang mengidap cherophobia seperti ini sangat banyak. Sayangnya mereka begitu bertebaran dan tidak dapat kita identifikasi satu per satu.


Sinyal-sinyal emosi

Tubuh kita sepertinya sudah terprogram mengeluarkan sinyal khusus untuk memberitahu kita apabila kebahagiaan yang kita dapatkan atau kegiatan kita dalam masa-masa bahagia itu sudah cukup berlebihan.

Saya sendiri pun demikian. Setelah berceloteh hingga tertawa riang dengan teman dan rekan sekerja, memang seringnya ada sesuatu yang menyuruh saya untuk berhenti.

Sinyal ini bukan berarti ada sesuatu yang buruk menanti, melainkan inilah cara tubuh kita memberitahu kita bahwa tidak perlu berbahagia di luar batas itu.

Kita, terkhusus yang muslim, telah mengetahui bahwa terlalu banyak tertawa dapat mematikan hati. Hati yang mati akan lebih keras menerima petuah dan pelajaran baik, juga akan meremehkan masalah orang lain serta menganggap masalah dirinya sendirinyalah yang paling berat.

Meski sebenarnya tertawa itu sehat, namun ingatlah segala sesuatu yang menyehatkan pun memiliki kadar yang harus kita taati.

Sama seperti berolah raga yang dapat menyehatkan badan. Terlalu sering berolahraga atau dalam porsi yang berlebihan justru berbahaya bagi fisik yang akibatnya justru jauh lebih parah daripada yang tidak berolahraga sama sekali.

Begitu pun dengan diet, makanan sehat, dan konsumsi positif lainnya, termasuk tertawa.

Tertawa itu sehat, tetapi tubuh kita lebih paham sampai mana kadar sehatnya. Kita tidak ingin menjadi orang yang tidak menyenangkan karena terlalu banyak tertawa sampai kepekaan kita tergerus habis.

Nyatanya, orang-orang yang terlalu banyak tertawa kebanyakan mereka tidak dapat menyelamatkan diri mereka sendiri di masa sulitnya.

Kita hanya perlu mengisi batin kita dengan ketenangan di sela-sela kegiatan berbahagia kita. Terkadang perlu juga ada jam-jam untuk merenung dan melatih kembali kepekaan kita kepada kejadian sekitar.


Lingkungan mendukung

Cherophobia ini saya yakin memiliki kaitan yang erat dengan lokasi kita tinggal.

Orang-orang di negara maju yang mana masyarakatnya masing-masing memiliki tingkat kecerdasan dan kepekaan yang tinggi, akan mengalami lebih sedikit fobia seperti ini. Mengapa, karena rasa aman yang mereka dapatkan memang sudah tinggi.

Atau contoh lain, beberapa kita rela merogoh kocek lebih dalam untuk menaiki transportasi yang lebih nyaman karena jaminan rasa aman yang menjadi pelayanannya.

Belum lama di Twitter, ada beberapa netizen yang membanding-bandingkan perilaku masyarakat di KRL dan MRT. Bagi mereka, meski tidak semua, penumpang MRT jauh lebih tertib dan beradab daripada penumpang KRL.

Saya sebagai pengguna KRL tidak tersinggung dengan pernyataan itu karena saya mengakui saat saya mencoba menggunakan MRT, meski lebih mahal, namun memang para penumpangnya lebih tertib dalam mengantri tapping dan keluar masuk kereta.

Netizen lain mengungkapkan sebabnya, menurut mereka itu karena harga tiket yang jauh lebih tinggi yang membuat hanya orang-orang yang lebih ‘berkelas’ saja yang menggunakan itu.

Atau dalam tanda kutip, harga tiket dapat menyaring etika pengguna, yang dalam hal ini, penumpang.

Lalu apa hubungannya budaya pengguna dengan cherophobia? Tentu sangat erat. Dalam kasus MRT di atas, orang-orang yang telah berbahagia dari kegiatan mereka, memiliki kekhawatiran yang lebih minim saat pulang menggunakan MRT.

Benar, karena ketidaknyamanan yang akan mereka alami di MRT sangatlah kecil sebab para penumpangnya yang telah ‘disaring’ oleh harga tiketnya.

Di negara maju, seperti Singapura, Jepang, atau negara-negara Eropa, meskipun tingkat stres bekerja di sana begitu tinggi, namun masyarakatnya terlihat selalu riang seakan tidak pernah ada kesedihan yang hinggap sedikit pun pada mereka.

Mereka pun paham bahwa rasa sedih dan bahagia silih berganti. Tetapi karena masyarakatnya saling memahami dan saling memberikan rasa aman, mereka tidak memiliki kekhawatiran berlebih setiap selesai melakukan hal yang sangat membahagiakan.

Kesadaran masalah kesehatan mental orang-orang di negara maju begitu tinggi ditambah dengan kadar IQ yang juga mendukung, membuat masing-masing bukan hanya peka, melainkan juga pandai memecahkan masalah.

Jika kita bandingkan dengan negara-negara berkembang, seperti negara ini, Indonesia, kejadian yang akan kita temui di luar sana masih seperti melempar dadu. Tidak heran banyak yang memilih diam di rumah atau di kafe karena di sanalah tempat yang paling ‘aman’.

Kita tidak berbicara kejahatan atau kriminal terlebih dahulu, perilaku masyarakat di luar terkadang sangat mengganggu dan tidak menyenangkan.

Apalagi segelintir orang yang tidak memiliki prestasi namun memiliki gengsi tinggi. Maka hobi orang-orang seperti itu hanya menjadi arogan dan membuat takut orang lain saja sebab itulah satu-satunya gengsi yang bisa mereka capai.

Masyarakat di negara berkembang pun hanya sedikit yang peka akan hal ini, kebanyakannya hanya bertindak seolah bijak dengan memaklumi perilaku orang-orang yang meresahkan tersebut.


Akhir kisah panjang

Kesedihan dapat datang kapan saja, baik ada atau tidak ada rasa senang yang mengiringinya. Kita lebih baik melihat dan menutup atau setidaknya menghindari sumber kesedihan tersebut selagi mampu.

Jikalau kita lihat negara Amerika Serikat yang kini sudah berantakan, banyak netizen di media sosial yang berkata bahwa “America is Scary”. Banyak warga US yang mengidolakan negara seperti Jepang karena menurut mereka, orang Jepang lebih menghargai ruang personal atau privasi sesamanya.

Berbeda dengan Amerika Serikat yang mana menurut mereka banyak sekali orang-orang idiot yang seakan tidak bisa membiarkan orang secara damai berjalan kaki dan naik kendaraan.

Orang yang sampai mengidap cherophobia memiliki banyak sekali trauma berupa kejadian serupa yang ia alami sebelumnya.

Orang yang memang selalu mendapatkan kesialan setelah berbahagia, itu akan menjadi program sendiri yang akan otomatis terputar di otak mereka saat mereka menemukan kebahagiaan.

Masalahnya, kita terlalu lemah untuk memutus rekaman trauma yang telah bersemayam jauh di dalam hati dan pikiran kita. Kita perlu bantuan orang lain atau setidaknya mereka yang dapat merangkul kita pelan-pelan.

Seperti yang telah saya bahas di postingan tips bahagia sebelumnya, kita memiliki kewajiban untuk memilih mereka yang dapat menjadi sandaran, baik langsung maupun tidak langsung. Jumlah mereka sangat jarang, itulah tantangan kita untuk mencari mereka.

Setelah masa-masa yang terlalu membahagiakan itu, kita sebenarnya hanya perlu tenang. Memiliki sesuatu atau seseorang yang dapat menjadi tempat mengeluarkan keluh kesah adalah sebuah kenikmatan yang indah tiada terkira.

Saat hati telah beku karena terlalu banyak tertawa, perlu ada hal yang bisa kembali menghangatkannya.

Suka
Komentar
pos ke FB
pos ke X
🤗 Selesai! 🤗
Punya uneg-uneg atau saran artikel untuk Anandastoon?
Yuk isi formulir berikut. Gak sampe 5 menit kok ~

  • Sebelumnya
    Tips Lebih Bahagia 39: Mencari Sang Master

    Berikutnya
    Tips Lebih Bahagia 40: Jauh yang Dekat


  • 1 Jejak Manis yang Ditinggalkan

    1. Wah akhirnya di posting juga tentang hal ini. Saya termasuk yg relate sih kondisi ini , wkwkwk

      Dapet insight baru. Selama ini mikir simplenya cuma kebahagiaan itu kayak ada “jatah”nya jadi kalau kebanyakan dikeluarin di awal2 nanti tinggal sedih saja yg tersisa

    Minta Komentarnya Dong...

    Silakan tulis komentar kalian di sini, yang ada bintangnya wajib diisi ya...
    Dan jangan khawatir, email kalian tetap dirahasiakan. 😉

    Kembali
    Ke Atas